Dimana tanggung jawab perencana ruang?

Mengapa Ada konflik di Pulau Rempang, Batam?

  • Selasa, 12 September 2023 - 14:23:44 WIB | Di Baca : 586 Kali


 

Seriau- Kasus yang terjadi di Pulau Rempang Batam sebenarnya sangat mengusik keprihatinan kita.

Persoalannya bukan soal kita prihatin adanya konflik itu sendiri saja, juga bukan terkait dengan adanya rencana pihak swasta mengelola pulau itu dengan janji akan ada investasi ratusan triliun dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, tetapi yang menimbulkan keprihatinan kita adalah soal kebijakan dalam pemanfaatan ruang.

Pemanfaatan ruang ini sudah pasti disusun oleh ahli atau konsultan yang ditunjuk untuk merancang peruntukan pulau. Tidak ada yang salah dalam peruntukan pulaunya yang mungkin dialokasikan ke pengembangan kota baru agar bisa memiliki kesejajaran dengan Singapura.

Dari sisi itu tidak ada yang bisa kita polemik-kan yang menimbulkan keinginan untuk mendiskursuskannya adalah soal kebijakan pemanfaatan ruang yang tidak menjadikan penghuni awal sebagai pihak yang seharusnya paling diuntungkan dari pengembangan suatu ruang tertentu.

Padahal seharusnya dalam perencanaan tata ruang, pihak yang pertama kali kita pastikan akan mendapatkan kebermanfaatan dari pengembangan suatu daerah adalah penghuni daerah tersebut. Dan apalagi mereka adalah penghuni awal daerah tersebut.

Jangan sampai masyarakat setempat yang memang sudah menghidupkan daerah tersebut dan juga mendapatkan penghidupan dari lahan di mana tempat mereka tinggal ini, dirampas oleh visi tertentu yang disusun dengan mengabaikan keberadaan mereka.

Nah kalau kita melihat dari sisi ini maka kita tentu mempertanyakan kepekaan perencana ruang yang dipakai oleh pemerintah. Karena seharusnya perencana ruang ini sangat memahami betul bahwa penghuni awal dari pulau tidak boleh disingkirkan.

Bahwa keberadaan mereka perlu ada perlindungan, saya kira itu bahkan harusnya menjadi suatu hal yang digarisbawahi. Jadi mereka yang memang sudah tinggal di sana harus dilindungi eksistensinya dan kepentingannya, dan bahwa kemudian muncul kegiatan lainnya, maka kegiatan lain tersebut harus menghormati dan menempatkan kampung tua dan warganya itu sebagai elemen penting dari suatu upaya menjaga keseimbangan dan eksistensi seluruh aktivitas yang ada di pulau tersebut.

Tapi sayangnya arahan dalam pengembangan kawasannya tidak seperti itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan untuk menyingkirkan penghuni lama dari kampung tua yang ada di sana. Malah konsepnya adalah memindahkan warga setempat ke tempat baru yang membuat masyarakat tercerabut dari kehidupan asli dan tradisional yang mereka miliki.

Padahal sudah sangat jelas disampaikan oleh masyarakat bahwa mereka menjaga kampung adat dan mereka juga menjaga kampung tua yang ada di sana. Jadi eksistensi mereka untuk menjaga budaya harusnya dihargai dan dihormati.

Tetapi konsep pengembangan wilayahnya malah mengabaikan eksistensi masyarakat dan budaya yang selama ini hidup dan berkembang di daerah tersebut. Konsep baru yang dibawa yaitu menjadikan pulau tersebut sebagai pulau dengan citra suatu kota yang maju dan modern, dan tercerabut dari akar budaya pulau itu sendiri.

Nah dari sisi ini tentu saja kita melihatnya bahwa perlu ada perencanaan ulang yang lebih berpihak pada warga setempat. Fenomena ini selalu saja saya temukan di berbagai macam
dokumen tata ruang. Dimana setiap ruang yang direncanakan selalu saja menimbulkan kerugian pada warga yang bermukim di lahan yang direncanakan tersebut.

Dan ini tentu saja menimbulkan rasa anomali dan sangat tidak berkeadilan. Gentrifikasi nampaknya meluas dan terlegalkan dalam dokumen tata ruang di Indonesia.
Sehingga saya berharap agar Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) bisa membuat variabel yang berkaitan dengan upaya untuk memastikan bahwa tidak terjadi pengabaian dan penyingkiran terhadap penduduk asli ruang yang direncanakan oleh konsultan perencanaan ruang.

Setiap warga yang ada di sana yang memang penduduk asli harus dijaga eksistensinya. Mereka tidak boleh menjadi pihak yang tersingkirkan dari adanya perencanaan tata ruang yang disusun oleh konsultan perencanaan wilayah dan kota.

Saya mengkhawatirkan hal ini dapat saja terus terjadi jika tidak ada aturan main dalam perencanaan tata ruang yang melihat ruang dan penghuni awalnya sebagai suatu kesatuan yang harus dilindungi.

Itulah sebabnya di dalam struktur tata ruang dibuatkan berbagai macam guna lahan karena ada peruntukan lahan kepada penduduk setempat. Silahkan saja ruang yang lainnya dikomersialisasikan tetapi keberadaan kampung tua sebagai sebuah entitas penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan sosial selama ini, haruslah terus dijaga.

Saya juga meminta kepada konsultan di Riau menyusunnya dan biasanya mereka tergabung dalam Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia, agar dapat memiliki kesadaran yang utuh terkait dengan perencanaan tata ruang yang memiliki keberpihakan kepada penduduk setempat. Sekarang kita tinggal melihat dampak dari apa yang direncanakan yang kemudian menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Harusnya ini kesadaran semua pihak bahwa ternyata perencanaan tata ruang yang mengabaikan eksistensi penduduk asli telah menimbulkan geger budaya dan juga geger mental bagi masyarakat yang ada di sana, terutama anak-anak dan kaum wanita.

Sebagai kesimpulannya, saya sangat berharap agar pemerintah dapat meninjau ulang dokumen tata ruang yang menempatkan pulau ini sebagai pulau kota baru. Kota barunya tetap bisa dibuat tetapi kita tinggal melihat dari sisi struktur ruangnya apakah ada upaya untuk menjaga eksistensi penduduk asli. Jika masih belum ada upaya untuk menjaga eksistensinya maka perlu ada revisi rencana tata ruang disana.

Revisi ini menempatkan penduduk sebagai entitas penting dalam pengembangan pulau. Lalu dalam tahapan lainnya adalah menempatkan konsep sebagaimana yang direncanakan untuk menjadikan pulau ini sebagai pulau kota baru. Dan ketika kota baru ini dikembangkan dan juga beroperasi, tidak menempatkan penduduk asli sebagai pihak yang harus disingkirkan.

Tetapi menjadi pihak yang paling penting untuk dijaga kelestariannya karena peran masyarakat adat ini yang sudah sangat besar dalam menjaga keberlangsungan pulau dan eksistensi pulau selama berpuluh tahun sebelumnya. **

Penulis: H Abdul Kudus Zaini. MT, MS, TR, IPM (Program Studi Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Riau)

 





Berita Terkait

Tulis Komentar