Cerpen

Return

  • Selasa, 16 Januari 2024 - 08:42:47 WIB | Di Baca : 260 Kali
Ilsutrasi internet

Aku mengembuskan napasku perlahan, seakan ingin menikmati perasaan tenang dan damai yang selama beberapa tahun ini sangat aku rindukan. Tempat ini pernah menjadi tempat kesukaanku. Tempat yang selalu aku datangi ketika aku memiliki masalah, ketika ingin sendirian, ketika ingin berpikir dengan jernih. Aku selalu datang ke sini.

Tiga tahun sudah tidak pernah kudatangi, tempat ini masih terlihat sama. Posisi ayunan, perostan, box pasir bahkan pohon pinus itu masih ada di tempat yang sama. Tempat duduk yang selalu kududuki adalah di pojok kanan lahan ini, di dekat kotak surat lama yang sudah berkarat. Dia sudah seperti temanku setiap aku duduk di sini memikirkan banyak hal.
“Beruntungnya Nona tidak membuangmu, teman.”

Aku menarik masuk cairan yang hampir keluar dari hidungku. Dingin malam ini benar-benar menyiksa, namun jika diminta untuk memilih aku akan memilih beku di luar sini daripada harus diam di rumah.
Ah, tunggu. Tempat itu sudah tidak bisa menjadi rumahku lagi.

Aku tertawa kecil mengingat bagaimana dulunya aku sangat senang dibawa pergi dari sini. Aku terlalu lugu untuk seorang anak berumur 9 tahun saat itu. Atau mungkin tidak? Ya, lagi pula siapa yang tidak ingin memimpikan kebebesan dan kemewahan di dunia ini. Namun, untuk sekarang aku tidak membutuhkan itu lagi. Yang kubutuhkan adalah orang-orang yang dulu, orang-orang yang menyayangiku dengan tulus tanpa meminta balasan.

Aku terkadang berpikir, mungkin memang tidak ada tempat di dunia ini untuk menjadi tempatku merasa bahagia dan bebas dalam bermimpi. Namun, setelah berpikir selama semalaman di ruang sempit itu aku akhirnya paham dimana tempat seharusnya aku berada.

Mungkin memang aku yang tidak tahu diri, sampai aku bisa menyerukan perasaan bahagia ketika meninggalkan tempat ini. Tempat yang sudah menjadi rumahku selama bertahun-tahun sampai akhirnya harus bertahan di rumah mainan yang orang tuaku buat.

“Ah, aku rindu Kia dan Kio,” dengusku yang mengeluarkan uap hangat di udara. “Noona juga. Bagaimana kira-kira kabar mereka sekarang? Apa boleh aku penasaran?”

Kusandarkan kepalaku pada tiang penyangga kotak pos yang sudah sangat rapuh. Itu terdengar dari deritnya yang mengerikan. Mataku menatap bagunan besar dengan dua lantai di depan sana. Bagunan itu sudah jauh dua kali lipat besar dan kokoh dari terkahir kali kuingat.
“Untuk itu aku akan berterimakasih kepada Mama dan Papa.”

Lagi-lagi aku tertawa. Ini cukup lucu, menggelitik bagian dalam perutku. Mama? Papa? Dan parahnya lagi, terimakasih? Aku terus memikirkan ini. Apakah pantas mereka mendapatkan terimakasih dari orang-orang yang tinggal di bangunan ini dan diriku? Biarku bawa kau kembali ke beberapa hari yang lalu. Hari dimana aku menjadi manusia yang tidak tahu terimakasih untuk kedua kalinya.

Hari itu adalah hari membosankan seperti biasanya selama tiga tahun berlalu. Tidak ada hal istimewa yang bisa aku banggakan dan membuat iri orang-orang yang mendengarnya. Aku keluar dari kamarku dengan mata kurang tidur dan tubuh yang lemah. Aku bergabung bersama kedua orang tuaku di meja makan. Seperti biasa di sana sudah tertata rapi menu sarapan yang lengkap. Aku tidak kekurangan gizi selama di sini, aku memakan makanan yang berprotein tanpa harus memikirkan hal lain. Aku diberi fasilitas dan prioritas, namun hanya yang menguntungkan bagi mereka.

Ini bermula ketika Mama tiba-tiba mengganti jadwal les pianoku dan aku memintanya untuk memahamiku bahwa aku kekurangan istirahat. Perusahaan Papa dalam waktu dekat ini akan mengadakan pertemuan besar antar negara yang mengaruskan kubermain piano di depan semua orang penting itu. Namun di sisi lain kau harus tetap fokus pada studiku.

“Jaga sopan santunmu, Zean!”
Panas dan perih menjalar ke seluruh bagian wajah kiriku, selain itu sudut bibirku robek dan mengeluarkan darah. Pundak Mama naik turun mengikuti hembusan napasnya yang memburu. Amarahnya sudah mencapai puncak dan aku yakin kali ini aku tidak bisa selamat.

“Aku tidak meminta hal yang mustahil, Ma. Aku hanya memintamu untuk bisa mengerti sedikit tentangku. Apa Mama pernah bertanya pendapatku?”
Suaraku bergetar menahan rasa sakit dan amarah.

“Aku tidak bisa menjadi seperti yang Mama inginkan jika terus seperti ini. Aku bukan bonekamu! Kenapa aku harus menjadi pianis yang hebat demi mewujudkan Impian Mama? Kenapa bukan Mama saja yang menjadi pianis itu!”

Pada saat itu juga Mama menarik kerah bajuku, menamparku sekali lagi dengan sangat kuat hingga terjatuh. Matanya memerah marah, namun amarahnya saat ini masih terlalu kecil jika dibandingkan amarahku. Aku kehilangan akal ketika dia mencoba mencekik leherku. Aku mendorongnya sekuat tenaga ketika hampir kehabisan napas, membuatnya menghantam salah satu anak tangga dengan keras.

Hal terakhir yang aku ingat sebelum lari keluar dari rumah megah itu adalah Mama yang digenangi darah. Dan begitulah aku berakhir di tempat ini kembali. Panti Asuhan yang menjadi rumah pertama di sepanjang hidupku yang tidak pernah tergantikan. Aku tidak bisa kembali ke rumah bersama Mama dan Papa, namun aku juga tidak bisa kembali ke tempat ini.

“Hei, kau mau melihat hal yang menakjubkan?” Aku mengetuk kotak pos yang keropos itu dengan telunjukku. “Kau tidak bisa pergi kemana-mana kan? Bagaimana jika kau bergabung denganku? Di ujung sana ada stasiun kereta, ayo kita gunakan.”

Kutarik paksa kotak pos itu walau tidak sesulit yang dipikirkan karena lagi pula itu sudah tua. Kulangkahkan kakiku menyusuri stasiun bersama kotak pos yang ada di pelukanku. Butuh dua malam yang suntuk untuk diriku bisa menemukan jawaban dimana seharusnya aku berada, dan kali ini aku sudah sangat yakin inilah jawabannya.

Peluit kereta berbunyi dari kejauhan menjadi tanda benda panjang itu akan segera melintas. Suaranya semakin keras ketika semakin dekat mengimbangi suara jantungku. “Ah, itu dia. Ayo pergi!”
Hal terakhir yang kuingat adalah teriakan seorang wanita paruh baya yang juga ikut menunggu kereta malam ini bersamaku sebelum aku memutuskan masuk ke dalam area rel.

“Aku menyesal sudah bermimpi terlalu tinggi ketika aku tahu aku adalah yang dibuang.” 

 

Penulis: Gustini Indryani





Berita Terkait

Tulis Komentar