7 Maskapai Langgar Aturan Harga Tiket Pesawat

  • Jumat, 26 Juni 2020 - 05:55:38 WIB | Di Baca : 1409 Kali

 

 

SeRiau - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan tujuh maskapai lokal melanggar penetapan harga tiket pesawat. Ketujuh maskapai tersebutm PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi.

Maskapai-maskapai ini terjerat pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 soal persaingan usaha. KPPU menilai perusahaan melakukan perjanjian yang berujung pada tingginya harga tiket pesawat.

Atas pelanggaran tersebut, KPPU menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada para terlapor untuk melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada KPPU. Khususnya pada setiap kebijakan mereka yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat sebelum kebijakan tersebut dilakukan.

"KPPU memutuskan bahwa seluruh terlapor secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran atas Pasal 5 dalam jasa angkutan udara tersebut," mengutip keterangan tertulis, Kamis (25/6/2020)

Sebenarnya, perkara ini bermula dari penelitian inisiatif yang dilakukan KPPU atas layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi penerbangan dalam negeri di wilayah Indonesia. Penelitian tersebut kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kepada 7 maskapai terlapor

Dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan, KPPU menilai, struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli ketat (tight oligopoly). Hal ini mengingat bahwa kegiatan usaha angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia terbagi dalam 3 (tiga) grup yaitu grup Garuda (Terlapor I dan Terlapor II), grup, Sriwijaya (Terlapor III dan Terlapor IV), dan grup Lion (Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII).

"Sehingga seluruh Terlapor dalam perkara ini menguasai lebih dari 95% (sembilan puluh lima persen) pangsa pasar," bunyi keterangan tertulis itu lagi.

Selain itu juga terdapat hambatan masuk yang tinggi dari sisi modal dan regulasi yang mengakibatkan jumlah pelaku usaha sedikit dalam industri penerbangan.

Persaingan harga di industri tersebut diatur melalui peraturan pemerintah melalui batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri, sehingga masih terdapat ruang persaingan harga diantara rentang batasan tersebut.

Berdasarkan persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa telah terdapat concerted action atau parallelism para Terlapor, sehingga telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan untuk meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon, dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar.

Hal ini mengakibatkan terbatasnya pasokan dan harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia. Concerted action atau parallelism tersebut dilakukan melalui pengurangan subclass dengan harga murah oleh para Terlapor melalui kesepakatan tidak tertulis antar para pelaku usaha (meeting of minds) dan telah menyebabkan kenaikan harga serta mahalnya harga tiket yang dibayarkan konsumen.

Namun demikian, Majelis Komisi menilai bahwa concerted action sebagai bentuk meeting of minds di antara para Terlapor tersebut, tidak memenuhi unsur perjanjian di Pasal 11. 

Hal ini mengingat bahwa, berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010, unsur perjanjian di pasal tersebut membutuhkan berbagai hal seperti adanya konspirasi diantara beberapa pelaku usah, keterlibatan para senior eksekutif perusahaan yang menghadiri pertemuan-pertemuan dan membuat keputusan. Kemudian penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan, price fixing atau penetapan harga dengan cara alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi.

Selanjutnya adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian, adanya distribusi informasi kepada seluruh pelaku usaha terlibat atau adanya mekanisme kompensasi dari pelaku usaha yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya.

Hal ini mengakibatkan, unsur Pasal 11 menjadi tidak terpenuhi. Dalam membuat Putusan, Majelis Komisi turut mempertimbangkan sikap kooperatif para Terlapor dalam proses persidangan dan adanya implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah berdampak besar pada perekonomian nasional dan upaya pemulihannya, termasuk atas pelaku usaha industri penerbangan yang telah mengalami banyak kesulitan bahkan sebelum terjadinya Pandemi.

Memperhatikan berbagai fakta-fakta pada persidangan maka Majelis Komisi memutuskan bahwa para Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5, namun tidak tidak terbukti melanggar Pasal 11 sebagaimana diatur oleh UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999.

Untuk itu dalam perkara tersebut, Majelis Komisi menjatuhkan sanksi berupa perintah kepada para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada KPPU setiap kebijakan yang akan berpengaruh terhadap petapersaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat, sebelum kebijakan tersebut diambil

 

 

 

 

 


Sumber Okezone





Berita Terkait

Tulis Komentar