Eni Saragih didesak minta maaf dan cabut tuduhan pada Ketum Golkar

  • Ahad, 07 Oktober 2018 - 00:39:54 WIB | Di Baca : 1120 Kali

SeRiau - Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih terus 'bernyanyi' menyeret Partai Golkar dalam kasus suap PLTU Riau-1. Padahal, dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK terhadap terdakwa Johanes Kotjo, hanya ada nama Setya Novanto, Idrus Mahram, Eni Maulani Saragih dan Sofyan Basir yang disebut.

Nama-nama lain seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Ketua Fraksi Golkar di DPR, Melchias Marcus Mekeng sama sekali tidak ada. Eni dinilai telah melakukan pembohongan publik.

"Itu sebuah pembohongan. Menuduh orang tanpa bukti," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus di Jakarta, Sabtu (6/10).

Dia menjelaskan, Airlangga dan Mekeng adalah korban fitnah Eni dan pengacaranya. Mereka bisa dituntut karena melakukan pencemaran nama baik.

Jelasnya, setelah mencermati kata demi kata, kalimat demi kalimat dan fakta-fakta persidangan yang diuraikan oleh jaksa KPK dalam dakwaan Johanes Kotjo, nampak jelas pihak-pihak yang berperan dalamkorupsi PLTU yaitu Johanes Kotjo, Setya Novanto, Idrus Mahram, Eni Maulani Saragih dan Sofyan Basir. Tidak ada nama Airlangga, Mekeng atau pihak lainnya sebagaimana dituduh Eni bersama pengacaranya.

"Ini adalah surat dakwaan jaksa KPK yang sudah dibacakan dan sudah susun dengan sangat cermat dan obyektif. Maka harus ada pernyataan secara terbuka berupa permintaan maaf dan mencabut segala pernyataan yang menuduh AH dan Mekeng sebagai ikut tersangkut perkara korupsi PLTU," kata Petrus dalam siaran pers.

Dia juga meminta publik agar mencermati dakwaan jaksa KPK terhadap Johanes Kotjo, Eni Maulani Saragih dan Idrus Mahram nantinya. Tidak tertutup kemungkinan akan munculkan tersangka baru dalam kasus korupsi PLTU itu yaitu Setya Novanto. Novanto dinilai sebagai pemeran kunci dan tahu berapa jumlah uang suap yang diterima dari Johanes Kotjo.

"KPK tidak ragu-ragu lagi menjerat Setya Novanto dengan hukuman yang maksimum. Hal itu karena Novanto telah menjadikan DPR sebagai korporasi untuk menggasak uang negara, memeras pengusaha dan pejabat negara yang berurusan dengan DPR," tutup Petrus. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar