Rokok, Antara Fatwa, Cukai Menggiurkan dan Biaya Kesehatan

  • Kamis, 06 September 2018 - 08:06:52 WIB | Di Baca : 1231 Kali

 


SeRiau - Rokok dari sisi kesehatan masih terus jadi polemik. Kandungan bahan berbahaya didalamnya dinilai merugikan kesehatan shingga jaminan kesehatan yang harus ditanggung membengkak. Namun disisi lain, duit yang diterima dari cukainya sangat besar. Fatwa keagamaan turut mewarnai polemik rokok di mana ada fatwa yang mengharamkannya. 

Saat polemik halal-haram rokok berdasarkan fatwa ormas keagamaan maupun ulama masih hangat, pemerintah belum mengatur secara tegas larangan rokok. Padahal, ada aspek kerugian ekonomi sangat besar, terutama biaya jaminan kesehatan yang membengkak. Hal itu tak sebanding dengan duit dari cukai rokok yang diterima pemerintah.

Selama ini, umat Islam mengikuti hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia III Tahun 2009 di Padang Panjang yang menyatakan bahwa merokok hukumnya makruh dan haram. 

Rokok ditetapkan haram bagi anak-anak, ibu hamil dan di tempat umum. Ijtima Ulama Komisi Fatwa telah mendesak pemerintah dan DPR agar menjadikan hasil Ijtima itu sebagai salah satu bahan penyusunan UU. 

Hingga kini, ada dua fatwa kelembagaan Islam lainnya yang bergema di masyarakat Indonesia. Pertama, Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah NO. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok yang menyatakan bahwa merokok haram, non-perokok dilarang mencoba merokok, dan perokok yang sudah telanjur diwajibkan berupaya berhenti secara perlahan.

Kedua, fatwa Mufti Mesir, Fariz Wasil, pada 1999, yang menyatakan bahwa merokok hukumnya haram dalam Islam karena memiliki efek yang merusak kesehatan manusia.

Menurut Dr. Muhammad Taufiqi, Dosen Program Studi Perbandingan Mahzab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, fatwa hukumnya mengikat bagi yang memintanya. Sementara, fatwa baru boleh dikeluarkan jika ada yang meminta.

"Fatwa itu prosesnya luar biasa panjang. Fatwa itu harus ada yang meminta dan fatwa itu mengikat pada yang meminta. Yang enggak meminta ya nggak wajib mengikuti," kataTaufiqi dalam diskusi publik yang digelar Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), di Jakarta, Rabu (5/9).

Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI, maupun mufti Mesir percaya bahwa rokok haram hukumnya karena termasuk kategori perbuatan melakukan khaba'is (hal kotor/kejahatan) yang dilarang.

Perbuatan merokok disebut mengandung unsur menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dan bahkan merupakan bunuh diri secara perlahan. Hal itu dikatakan bertentangan dengan surah Al-Baqarah ayat 195, "Dan janganlah kamu menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan".

Kerugian Ekonomi

Anas Nashikin dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melihat bahwa rokok memberikan pemasukan tinggi bagi negara. Sebesar 95 persen cukai berasal dari produk tembakau ini.

"Jadi secara ekonomi PKB melihat kan ada konteks bernegara ya. Kita lihat faktanya rokok menjadi 95 persen cukai itu artinya dia memberikan sumbangsih, terlepas misalnya uang itu terkumpul melalui proses cukai yang memberatkan tapi itu faktanya begitu," tutur dia.

Thuba Jazil, Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Islam FEB UI mengatakan bahwa rokok memang memberikan pemasukan yang besar bagi negara. Namun jika dikaitkan dengan dana yang dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tiap tahun tidaklah berimbang.

"BPJS itu selalu defisit. Jadi kalau dari bea cukai itu masuknya dari rokok itu Rp100 miliar maka defisitnya BPJS itu Rp250 miliar," ujarnya di kesempatan yang sama.

Dia bahkan mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang selalu menyebut bahwa rokok adalah produk kedua penyebab kemiskinan. Rokok adalah produk setelah bahan makanan pokok yang memiliki sumbangan paling tinggi dalam konsumsi masyarakat miskin.

"Produk yang paling mendorong kemiskinan itu ada dua. Yang pertama adalah kebutuhan pokok, pangan. Yang kedua itu adalah rokok," ujarnya. 

Sumbangan rokok di masyarakat kota dan desa lebih tinggi di perkotaan. Namun menurut Jazil akan lebih dekat jarak konsumsinya dengan bahan pangan ketika dilihat data di pedesaan. Hal ini terkait daya beli masyarakat perkotaan yang lebih tinggi pada rokok yang harganya cenderung mahal.

Dari sektor ekonomi, para ahli meminta pemerintah untuk bisa mencari jalan agar tak langsung menutup industri tembakau. Perlu dipikirkan bagaimana para petani akan bisa melanjutkan hidup atau bagaimana cara mengalihkan produk tembakau ke bentuk produk selain rokok.

"Pemerintah bisa juga misalkan merubah perundangan tentang RUU Pertambakauan ini. Maka harus dibicarakan 1,2,3 yang sifatnya ke depan bagaimana. Juga tindakan-tindakan preventif yang harus dilakukan," tutup Jazil.

Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa merokok adalah perbuatan mubazir. Buktinya, perokok Indonesia pada 2017 sudah membakar uang senilai Rp360-400 triliun.

"[Jumlah itu] cukup untuk membangun masjid 100 ribu [unit] senilai Rp3-4 miliar. Kalau buat menghajikan orang dengan ONH normal sekarang cukup untuk menaikkan 10 juta orang atau 200 ribu orang selama 50 tahun kalau mengacu pada kuota Indonesia," terangnya.

Itu belum termasuk efek terhadap kesehatannya karena rokok mengandung hidrogen sianida (HCN) yang merupakan racun yang digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati. 

Selain itu, ada pula kandungan arsen (racun tikus), naftalen (kapur barus), karbon monoksida (gas beracun seperti dari kanlpot) dan nikotin yang memabukkan. Nikotin tersebut mampu merangsang otak melepaskan dopamin sehingga seseorang mabuk dalam kenyamanan semu.

"Nah kalau sudah mabuk ini dikatakan bahwa zat yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya haram," kata dia.

Cukup Bicara Halal-Haram

Soal halal-haram rokok, Anas menilai itu sudah selesai. Yang diperlukan adalah sosialisasi bahaya rokok. Tujuannya, membuat perokok mengerti manfaat dan kerugian atau mudharat dari merokok.

"Cukup wacana halal-haram. Lebih menarik kalau pendekatannya tidak serta merta soal haram-halal karena perspektifnya banyak lebih baik upaya pengendaliannya saja ditingkatkan," ucap dia. 

"Yang menjadi penting adalah berikan pemahaman itu sehingga kalaupun ada orang ngerokok itu karena kesadaran [akan bahayanya]," imbuh Anas.

Baginya, masyarakat Indonesia mengonsumsi dan menikmati rokok sebagai warisan. Alhasil, Indonesia lebih membutuhkan regulasi penataan dan pengendalian rokok. 

Misalnya, rokok tidak diperkenankan untuk anak-anak di bawah usia 17 tahun sehingga toko-toko penjual rokok juga akan mendapatkan sanksi jika tidak memverifikasi batasan umur pembelinya.

"Kalau sekarang ini kan endak, di mana-mana ada dan mereka nggak mau konfirmasi yang membeli itu anak kecil atau apa itu bebas," imbuhnya.

Diketahui, pemerintah saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undangan Pertembakauan yang draftnya pernah dibuat sejak 2016. Kendati demikian, beberapa pasal di dalamnya masih menuai pro dan kontra di masyarakat.

 

 

Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar