MUI: Sudah Ada Rasa Penistaan dalam Puisi Sukmawati

  • Rabu, 04 April 2018 - 07:19:30 WIB | Di Baca : 1431 Kali

SeRiau - Meskipun proses hukum belum memberi hasil akhir, kasus puisi Sukmawati Soekarnoputri dinilai sudah melukai umat Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menyarankan agar putri Proklamator itu segera minta maaf dan tak berlindung di balik seni karena puisi berjudul 'Ibu Indonesia' itu diduga mengandung unsur penistaan agama.

"MUI menilai sudah ada rasa penistaan," ujar Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, Selasa (3/4).

"Secara rasa, perasaan subjektivitas pemeluk agama Islam itu merasa dinistakan, merasa dilukai, atau minimal tersinggung oleh puisi ini," imbuhnya.

Buktinya, kata dia, ada laporan masyarakat terhadap Sukmawati.

Seorang pengacara, Denny Adrian, melaporkan Sukmawati ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penistaan agama. Selain itu, Sukmawati dilaporkan Ketua DPP Partai Hanura Amron Asyhari atas tuduhan yang sama.

Atas dasar itu, Cholil meminta Sukmawati untuk segera meminta maaf kepada umat Islam. Bentuknya, bisa melalui silaturahmi ke MUI. Hal itu penting demi meredam kegaduhan umat.

"Bukan MUI yang meredam [kegaduhan], tapi yang bersangkutan. Karena jelas ada yang tersinggung. Rasa itu lebih dari hukum prosedural, untuk interaksi. Kalau mau datang ke MUI monggo, atas nama umat Islam," tuturnya.

Ditambahkannya, Sukmawati tak perlu membela diri dengan berlindung di balik seni.

"Tak perlu bertahan itu ekspresi seni karena ada yang tersinggung, segera minta maaf, ini proses lapang dada," ucapnya.

Selain itu, MUI juga membuka diri jika ada pihak yang meminta fatwa kepada MUI terkait puisi Sukmawati itu. MUI, lanjutnya, kemungkinan bisa mengeluarkan produk berupa sikapkeagamaan, rekomendasi, atau fatwa.

"Pasti kita mengkajinya, unsur-unsur puisi itu seperti apa," ujar dia.

Sementara itu, Pakar semiotika Institut Teknologi Bandung Acep Iwan Saidi menyatakan puisi Sukmawati hanya melihat fenomena syariat Islam dari satu sisi dan tidak mempertimbangkan toleransi.

"Mbak Sukmawati hanya melihat realitas dari satu sisi, tidak mempertimbangkan banyak hal. Saya melihat tidak ada hati di sajak ini," kata Acep.

Acep mencontohkan pada bait yang berbunyi 'suara kidung ibu Indonesia lebih merdu dari alunan azan'. Menurut Acep, seharusnya puteri Presiden pertama Indonesia Sukarno ini menjaga toleransi umat beragama, bukan mempertentangkannya.

Acep juga menyebut memang ada fenomena di masyarakat di mana waktu kumandang azan sering bersinggungan dengan waktu istirahat umat agama lain.

Namun, sambungnya, Sukmawati sebagai budayawan seharusnya bisa menjembatani pertentangan itu dengan menjelaskan kalau azan bukan hanya menguntungkan umat Islam sebagai pengingat waktu salat. 

"Di situ, budayawan menyentuh fakta dengan halus, bukan mempertajam," ujar Acep.

Acep juga menyoroti pengakuan Sukmawati dalam puisi kalau dirinya tak paham syariat Islam. Pengakuan itu dilontarkan Sukmawati sebanyak dua kali dalam puisi yang dibacakan dalam acara '29 Tahun Anne Avantie Berkarya' di ajang Indonesia Fashion Week 2018 pekan lalu.

Menurut Acep hal ini sangat fatal. Apalagi mempertentangkan hal sensitif yang dianggap sakral oleh umat Islam.

"Kalau tidak tahu syariat, jangan membandingkan dengan hal lain. Harus tahu apa yang dibandingkan, masa membandingkan hal yang tidak tahu," kata Acep.

Puisi Sukmawati itu membuat sejumlah kalangan bereaksi. Sebab karya sastra itu dinilai mengandung unsur penistaan agama karena membandingkan azan dengan kidung.

Di Polda Metro Jaya, Sukmawati diadukan telah melanggar Pasal 156A KUHPidana tentang Penistaan Agama, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. (*JJ)



Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar