Pakar Komunikasi Soal Gugatan RCTI: Tulis Ulang UU Penyiaran

  • Senin, 16 November 2020 - 23:03:53 WIB | Di Baca : 1587 Kali

SeRiau - Pakar komunikasi Ade Armando menyarankan pemerintah membuat undang-undang baru terkait penyiaran ketimbang Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan RCTI dan INews TV terkait operasi Netflix yang dinilai seharusnya diatur negara.

Hal tersebut diungkap dalam sidang perkara No. 39/PUU-XVIII/2020 yang digelar di Gedung MK, Senin (16/11). Dalam sidang tersebut PT Visi Citra Mitra Mulia dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia memohon pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Dalam pandangan saya bila memang UU Penyiaran ini ingin disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan lahirnya perkembangan-perkembangan baru yang tadi saya sebutkan, yang harus dilakukan ada penulisan ulang UU Penyiaran," katanya.

Menurutnya jika MK hanya mengubah satu pasal dari UU tersebut, akan terdapat banyak masalah yang bisa diakibatkan. Perubahan itu, kata dia, terkesan menyamaratakan semua bentuk layanan over the top atau OTT.

Ia menjelaskan konsep OTT ini sesungguhnya terbagi menjadi dua, yakni layanan OTT dan layanan media OTT.

Layanan OTT itu merujuk pada semua layanan konten dalam bentuk data, informasi dan multimedia yang diakses melalui internet.

Sedangkan layanan media OTT itu diciptakan oleh sebuah perusahaan atau lembaga media.

Inipun bentuknya dikatakan bisa bermacam-macam, ada yang seperti media sosial dimana konten dibuat oleh pengguna. Tapi ada juga yang kontennya diproduksi industri sesuai keinginan pasar seperti Netflix.

Menurutnya kedua hal tersebut harus dibedakan, jika keduanya disamaratakan akan ada implikasi yang sangat serius dan bakal berdampak pada banyak layanan OTT.

"Bila permohonan pemohon ini dikabulkan, yang akan mengalami masalah bukan hanya Netflix dan kawan-kawan. Tapi semua bentuk user generated content di internet," katanya menambahnya.

Nantinya, sambung Ade, seluruh layanan tersebut akan diwajibkan mengikuti UU Penyiaran dan tunduk pada otoritas Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi Penyiaran Indonesia.

"Bahkan tayangan Zoom yang digunakan dalam sidang MK ini atau rapat-rapat jarak jauh di berbagai instansi atau webinar, atau lainnya, harus diatur sesuai dengan aturan UU Penyiaran. Termasuk soal izin yang harus melalui KPI dan seterusnya," tambahnya.

Ia pun menilai pengabulan terhadap gugatan ini dapat mematikan kreativitas masyarakat yang menjadi pengguna layanan OTT maupun media OTT.

Untuk itu ia menyarankan perombakan UU Penyiaran atau mendorong pemerintah membuat UU baru yang mengatur khusus terkait OTT.

Sidang hari ini hanya menampilkan satu saksi ahli, ini merupakan sidang terakhir sebelum semua pihak dapat mengajukan kesimpulannya.

Ketua Majelis Hakim Panel memberikan kesempatan setiap pihak menyerahkan kesimpulan paling lambat pada 24 November kemudian hakim akan memberikan putusannya.

RCTI mengajukan gugatan terhadap UU Penyiaran karena menilai ada perbedaan perlakuan pemerintah terhadap Netflix dan Youtube dengan televisi konvensional. Tuntungan ingin aturan terkait layanan media digital seperti keduanya itu diperketat dan tunduk pada UU Penyiaran. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar