Masyarakat Desak Bawaslu tak Loloskan Eks Koruptor Jadi Caleg

  • Sabtu, 01 September 2018 - 03:11:06 WIB | Di Baca : 1059 Kali

SeRiau - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI supaya tidak memberi ruang bagi mantan narapidana korupsi maju sebagai calon anggota legislatif. Mereka menyayangkan justru banyak eks napi korupsi di sejumlah daerah justru diloloskan karena menang dalam gugatan digelar Bawaslu.

"Kami dari koalisi masyarakat sipil untuk pemilu bersih, lebih mendorong dan mendesak bawaslu untuk mengkoreksi putusan-putusan yang terus keluar dari Bawaslu di tingkat daerah terkait dengan pengabulan permohonan dari caleg-caleg mantan koruptor yang sebetulnya sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU," kata perwakilan koalisi Hadar Nafis Gumay, di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (31/8).

Hadar menyatakan pernyataan sikap mereka menentang mantan koruptor maju menjadi caleg ditunjukkan dengan menyampaikan petisi 'tolak koruptor nyaleg'. Petisi tersebut sebelumnya diunggah melalui situs change.org dan didukung lebih dari 67 ribu orang.

Petisi ini merupakan reaksi masyarakat atas dimenangkannya gugatan sejumlah bakal caleg oleh Bawaslu di daerah pasca KPU setempat menyatakan mereka tidak memenuhi syarat (TMS).

Hadar mengakui polemik mantan koruptor menjadi bakal caleg sudah muncul sebelum Peraturan KPU (PKPU) ditetapkan. Bahkan, Bawaslu juga termasuk salah satu pihak yang menentang larangan itu.

Akhirnya Kementerian Hukum dan HAM menetapkan PKPU Nomor 14 dan 20 Tahun 2018 yang didalamnya melarang mantan koruptor menjadi caleg. Oleh karena itu, menurut dia semestinya Bawaslu di tingkat pusat maupun daerah menghormati aturan yang berlaku. Demikian juga dalam membuat putusan. Menurut Hadar sedianya Bawaslu mengacu pada aturan tersebut.

"Kalau sudah ditetapkan semua pihak termasuk Bawaslu harus mematuhi peraturan ini. Jadi seharusnya bawaslu tidak membuat interpretasi sendiri lagi. Seharusnya kalau kita mau tertib, taat hukum itu harus dilakukan," kata dia.

Menurut Hadar jika Bawaslu tidak setuju dengan aturan tersebut bisa mengupayakan perubahan dengan cara mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA). Hadar pun menyayangkan jika langkah yang digunakan seperti mengesampingkan PKPU yang berlaku.

Hadar menyatakan perbedaan sikap antar penyelenggara pemilu sudah terjadi sejak periode sebelumnya. Namun pertentangan terus berlanjut. Menurut Hadar, kondisi saat ini seakan menggambarkan ketidakmampuan penyelenggara pemilu mengemban tugasnya.

"Model seperti ini terjadi di masa saya menjadi anggota KPU sebetulnya, tapi tidak pernah menjadi pertentangan seperti ini yang akhirnya kita dipertontonkan penyelenggara pemilu itu seperti tidak mampu menyelenggarakan pemilu yang baik, yang demokratis, yang adil," ujarnya.

Koalisi masyarakat sipil terdiri dari sejumlah lembaga swada masyarakat (LSM) di antaranya, Indonesia Corruption Watch (ICW), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) dan Pemuda Muhammadiyah, Madrasah Antikorupsi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Budget Center (IBC), Lingkar Madani (Lima), Rumah Kebangsaan, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan Politik (Ansipol), Banten Bersih, dan Mayarakat Transaparansi Aceh (MaTa).

Sejumlah mantan koruptor memenangkan gugatan ke Bawaslu di daerah pasca KPU setempat menyatakan tidak memenuhi syarat (TMS). Di antaranya, bakal caleg DPD dari Sulawesi Utara Syahrial Damapolii, bakal caleg DPD dari Aceh Abdullah Puteh, dan bakal caleg DPRD Toraja Utara Joni Kornelius Tondok.

Kemudian, ketua DPC Partai Hanura Rembang, M Nur Hasan, dan kader DPC Perindo Parepare Dapil I Kecamatan Bacukiki dan Bacukiki Barat, Ramadan Umasangaji.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan pihaknya memperkirakan sejak lama tiga mantan napi korupsi tersebut dinyatakan memenuhi syarat oleh Bawaslu setempat. Ke depan, menurut Wahyu masih akan ada napi mantan korupsi yang akan berupaya menggunakan cara ini agar bisa lolos menjadi caleg.

"Bagi KPU bola salju ini sudah kami perkirakan sejak ada tiga putusan Bawaslu di Aceh, Sulut, dan Toraja Utara," kata Wahyu di KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/8) kemarin.

Sementara itu, Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan pihaknya belum akan menindaklanjuti putusan Bawaslu. KPU akan menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) atas uji materi terkait boleh atau tidaknya mantan napi korupsi jadi caleg. Jika nantinya putusan MA membolehkan mantan koruptor jadi caleg, maka KPU akan menyatakan para napi tersebut memenuhi syarat pencalonan.

Ilham menegaskan KPU tidak khawatir jika permasalahan ini dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Ilham menekankan KPU hanya menjalankan tugas sesuai aturan yang berlaku.

"Kami siap soal itu (dilaporkan ke DKPP), sebab Abdullah Puteh juga sudah laporkan kami," ujar Ilham di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/8) kemarin.

MPR-DPR Tuntut Konsistensi

Ketua MPR Zulkifli Hasan meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) konsisten dengan pakta integritas mengenai larangan napi koruptor yang menjadi calon legislatif. Hal ini disampaikan Zulhas menyusul sejumlah mantan napi lolos menjadi calon legislatif di daerah.

"Bawaslu harus konsisten dong kita sudah tandatangan dan Bawaslu dateng ke tempat kita untuk pakta intergritas. Semu partai tandatangan pakta intergritas," kata Zulkifli di Gedung DPR.

Zulkifli mengungkapkan pihaknya sudah mengganti calon legislatif yang pernah bermasalah dengan tiga kejahatan, yakni korupsi, asusila dan narkotika. Hal ini tidak adil jika ada calon yang mantan napi dan diloloskan.

"Calon kita yang sudah terkena masalah hukum sudah kita tak daftarkan, tapi kok ada yang boleh dan tidak. Kan perlu ada konsistensi dari Bawaslu jangan ada yang tidak ada yang boleh," kata dia.

Menurut Zulkifli, jika Bawaslu mempertahankan sikap seperti itu maka sama saja membuat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu berkurang. Senada, Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta Bawaslu berlaku adil ke semua caleg. Bawaslu harus punya aturan yang jelas.

"Kalau dibolehkan, ya dibolehkan semua, tidak boleh maka tidak boleh semua. Dan ini harus ada aturan yang jelas. Aturan itu diatur oleh undang-undang," ujar Fadli.

Fadli mengingatkan supaya KPU bisa memahami mantan napi koruptor sudah menjalani masa hukuman. Artinya, seorang napi sudah memiliki hak untuk dipilih dan memilih.

"Karena di sisi lain mereka juga sudah mengalami misalnya pembinaan di Lapas. Artinya hak warga negara untuk dipilih dan memilih itu jangan sampai direduksi, karena mereka sudah membayar apa yang sudah menjadi dosanya," kata Fadli. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar