Peta Politik di Tangan MK, Jokowi-JK atau Prabowo-Anies

  • Senin, 23 Juli 2018 - 12:12:00 WIB | Di Baca : 1269 Kali

 


SeRiau - Wakil Presiden RI Jusuf Kalla telah menjadi pihak terkait dalam gugatan mengenai masa jabatan presiden/wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK).

Vonis dari majelis hakim MK itu nantinya akan berpengaruh pada peta politik Indonesia jelang pendaftaran calon presiden/wakil presiden yang akan dibuka 4-10 Agustus mendatang.

JK dianggap masih mampu mendongkrak elektabilitas jika kembali dipasangkan dengan Jokowi. Peran JK juga dianggap bisa menengahi kepentingan dua kubu yang saat ini terbelah, pemerintah maupun oposisi.

Di sisi lain, JK belakangan juga mulai 'memperkenalkan' Gubernur  DKI Anies Baswedan dalam safari ke sejumlah ormas Islam. Sejauh ini, mantan Menteri Pendidikan tersebut digadang menjadi salah satu kandidat kuat cawapres bagi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.

Dua gelagat dari JK tersebut, uji materi MK dan menggandeng Anies, dianggap sebagai strategi JK dalam menghadapi kemungkinan.

"Semua tergantung JK. Artinya begini, kita tidak bisa pungkiri Anies mentornya pak JK," kata Pengamat politik dari The Habibie Center Bawono Kumoro saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (22/7).

Bawono menilai kesempatan Anies sebagai cawapres semakin besar, apabila keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan atau menolak permohonan uji materi UU Pemilu mengenai pencalonan kembali JK sebagai cawapres.

"Kalau JK tidak maju (cawapres), pasangan capres dan cawapres harus bisa mengakomodisi kepentingan dia (JK). JK akan memilih orang yang bisa mengakomodasi, seperti Anies diberikan ke Prabowo," kata Bawono.

Di kesempatan yang berbeda, pengamat politik Universitas Gadjah Mada Erwan Agus Purwanto berpandangan lain. Menurutnya peluang Anies sebagai cawapres diluar partai politik merupakan batu sandungan bagi Prabowo.

Meskipun sempat ada isyarat menolak atau tidak dari PKS yang menjadi koalisi Gerindra, Erwan berpendapat partai tersebut akan tetap terus mengusahakan kadernya untuk menjadi cawapres Prabowo.

"Belum ada pembicaraan PKS menuju mendukung Anies, dari beberapa pengurus PKS lebih baik Anies menyelesaikan DKI karena tempo hari sudah serius mendukung Anies di DKI. Jadi kans Anies mendampingi Prabowo masih sulit," kata Erwan.


Dilema Prabowo

Terkait Prabowo, sosok yang disebutkan akan kembali bersaing dengan Joko Widodo dalam Pilpres 2019, hingga saat ini belum menentukan nama cawapresnya.

Meskipun partai yang dipimpinnya memiliki chemistry yang kuat sebagai sesama oposisi dengan PKS, Prabowo pun masih melakukan safari melakukan komunikasi politik dengan parpol lain. Salah satunya dengan Partai Demokrat yang dipimpin Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Gagal dengan putra kedua, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), di persaingan politik tingkat tinggi, SBY mendorong putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Itu diawali ketika AHY memutuskan mundur dari karier militer dan mengikuti kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017.

Setelah gagal di Pilkada DKI, SBY menaruh AHY sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) partainya untuk Pilkada 2018, pemilu, dan pilpres 2019. Belakangan, nama AHY pun muncul sebagai bakal cawapres yang ditawarkan Demokrat pada calon koalisi.

Bawono berpendapat untuk memilih cawapres Prabowo ada dua hal yang menentukan. Pertama, calon pendamping harus bisa membantu menaikkan elektoral demi memenangkan konstestasi pilpres.

"Kedua apakah cawapres dipilih harus bisa berkontribusi dalam pemerintahan. Namun sayangnya variabel kedua ini kurang dilihat dari partai-partai yang berkoalisi," kata Bawono.

Dalam menimbang-timbang cawapres, kata Bawono, apabila Prabowo ingin meraih dan memperkuat suara dari kaum milenial, AHY dirasa pantas untuk mendampingi mantan perwira TNI angkatan darat ini. 

Terpilihnya AHY menjadi cawapres, Bawono berpandangan bahwa Prabowo akan memiliki tantangan yang berat. Prabowo harus bisa memastikan PKS tidak akan 'lari' dari koalisinya, karena kadernya tidak terpilih. 

"Peluang itu tidak bisa terjadi (AHY cawapres Prabowo) kalau misalnya PKS tidak menerima. Kalau tidak menerima kompensasi apa? Itu PR bagi Prabowo," kata Bawono. 

Apabila ingin memperkecil risiko kehilangan PKS yang sudah setia berkoalisi dengan Gerindra, maka Prabowo harus memilih satu dari sembilan nama yang telah disodorkan partai yang dipimpin Sohibul Iman tersebut.

"Kalau elektabilitas jumlah pendukungnya yang besar dengan Islam kuat, Aher [Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan] yang kuat. Ini dikaitkan dengan paket capres-cawapres. Berarti [Prabowo] maju dengan Kang Aher," kata Erwan saat dihubungi.

Selain memiliki elektabilitas yang tinggi, Aher merupakan salah satu kader PKS. Dengan memilih Aher sebagai cawapres, maka koalisi yang dibangun PKS dengan Gerindra akan semakin solid. 

Apalagi ditambah sentimen Islam, serta massa dan mesin partai PKS yang dikenal kuat dan efektif.

"PKS di beberapa kali terbukti pada saat Pilkada, mesin partai mereka jalan maksimal, detik-detik terakhir suara maksimal. Ini harus dipertimbangkan kemenangan itu, tidak sembarangan. Jadi agak complicated karena banyak varibel. Ada risiko masing-masing," kata Bawono.

 

 

 

Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar