Aturan Ngaco BWF dan Nasib Bulutangkis RI

  • Jumat, 30 November 2018 - 05:50:16 WIB | Di Baca : 1335 Kali

SeRiau - Lapangan bulutangkis di Istora Senayan Jakarta dipastikan akan menganggur selama 7 tahun ke depan di 2019 hingga 2025 dari gelaran kejuaraan dunia bulutangkis level utama.

Dan pastinya, dalam 7 tahun ke depan, masyarakat Indonesia tak dapat lagi menyaksikan piala-piala kejuaraan dunia level utama direbut atlet Indonesia di tanah kelahiran sendiri. Mulai dari Piala Thomas, Piala Uber, Piala Sudirman, Piala Kejuaraan Dunia, Piala Kejuaraan Dunia Junior, Piala Kejuaraan Dunia Juniar Junior atau Suhadinata.

Selama 7 tahun ini, pebulutangkis Indonesia dipastikan hanya akan berlaga di kandang lawan. Sebab, dari keputusan hasil penawaran Federasi Bulutangkis Dunia, tak ada nama kota di Indonesia yang masuk dalam daftar 18 kota penyelenggara 18 kejuaraan dunia level utama ini

Dalam hasil penawaran yang digelar BWF di markas mereka di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis malam 29 November 2018, 18 kejuaraan itu akan digelar di 11 negara dunia, masing-masing 5 negara Benua Asia, yaitu China, Korea Selatan, Thailand, Jepang, India. 5 negara di Benua Eropa, yakni Denmark, Rusia, Prancis, Spanyol, Selandia Baru. Dan Amerika Serikat.

Raibnya nama Indonesia sebagai tuan rumah dalam keputusan BWF tentang 18 kota tuan rumah 18 kejuaraan dunia bulutangkis level utama ini sontak membuat gempar dunia.

Masyarakat dan pegiat bulutangkis di berbagai belahan dunia sangat terkejut dengan absennya Indonesia sebagai tuan rumah. Mereka bertanya-tanya kenapa tak ada nama Indonesia sebagai salah satu tuan rumah.

Diketahui, selama ini Indonesia merupakan negara pencetak juara-juara dunia bulutangkis. Dan karena itulah pebulutangkis dunia selalu berlomba-lomba agar bisa lolos ke kejuaraan dan turnamen yang digelar di Indonesia.

Sebenarnya, Indonesia bisa saja mendapatkan jatah menjadi tuan rumah dari 18 kejuaraan yang bakal digelar BWF di tahun 2019 sampai 2025 itu. Tapi, kesempatan itu tak diambil.

Karena Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia, memutuskan untuk absen dan bidding alias penawaran gelaran kejuaraan dunia yang digelar BWF. Alasannya, aturan komersil yang diterapkan BWF ngaco, dianggap PBSI tidak adil dan cuma merugikan negara penyelenggara saja.

Alasan yang dipaparkan PBSI untuk tak ikut bidding cukup masuk akal, sebab kerugian sebagai tuan rumah sudah dialami Indonesia ketika menggelar Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta.

"Berkaca dari Kejuaraan Dunia 2015, saat itu kami sebagai tuan rumah mengalami kerugian karena aturan ini. Belum lagi makin ke sini makin banyak extra cost yang terus meningkat dan dibebankan kepada negara penyelenggara, termasuk akomodasi, transpor dan berbagai biaya lainnya, kalau bisa ya jangan berat sebelah seperti ini," ujar Kepala Sub Bidang Hubungan Internasional PBSI, Bambang Roedyanto.

Aturan komersil yang dimaksud ialah, tentang pembagian pendapatan sponsor. Dalam tiap kejuaraan itu, BWF memberlakukan aturan pembagian komersial 80-20 persen. Dalam arti, 80 persen sponsor dikendalikan BWF. Negara penyelenggara hanya diberi jatah 20 persen saja.

Contohnya ketidakadilan aturan BWF itu di antaranya, penempatan logo sponsor pada e-board di pinggir lapangan, backdrop media zone, serta materi promosi lainnya.

Kiprah dan sejarah Indonesia jadi tuan rumah

Piala Sudirman dan Piala Suhadinata

Absennya Indonesia selama 7 tahun ke depan sebagai tuan rumah kejuaraan dunia bulutangkis level utama dipastikan akan berdampak buruk. Terutama bagi mental pebulutangkis Indonesia.

Sebab, bermain di negara sendiri akan memicu semangat berbeda ketimbang bertanding di kandang lawan. Apalagi dalam hasil bidding BWF, China paling banyak mendapatkan jatah tuan rumah.

Selain itu, dari 6 kejuaraan dunia level utama BWF, 2 di antaranya merupakan kejuaraan yang sangat penting nilai sejarahnya bagi Indonesia. Yaitu Piala Sudirman dan Piala Suhandinata atau Kejuraan Dunia Junior Beregu.

Perlu diketahui, nama dari kedua kejuaraan itu diambil dari nama dua orang Indonesia yang pernah berjasa bagi organisasi bulutangkis dunia itu. Yakni pendiri sekaligus ketua PBSI selama 22 tahun. Sedangkan Suhadinata atau Suharso Suhadinata adalah wakil ketua PBSI era kepemimpinan Sudirman.

Nama Sudirman dan Suhadinata dijadikan sebagai nama 2 kejuaraan dunia bulutangkis level utama karena mereka memiliki jasa mempersatukan dua organisasi bulutangkis dunia yang berpisah, yaitu International Bulutangkis Federasi atau IBF dan WBF.

Pada 28 Mei 1981 IBF dan WBF bisa dipersatukan oleh Sudirman, dengan jalan sebelumnya mempertemukan petinggi kedua organisasi itu di Bandung, 28 Mei 1979.

Karena jasanya itulah akhirnya setelah beliau wafat pada 10 Juni 1986, Suhadinata mengusulkan kepada Presiden IBF saat itu, Arthur Jones untuk membuat sesuatu untuk mengenang jasa-jasa Sudirman. Suhadinata mengusulkannya melalui surat dan konon usulan itu didapatkan Suhandinata saat berbincang dengan Sudirman, satu malam sebelum Sudirman wafat.

Akhirnya Arthur Jones membawa usulan itu ke pertemuan dewan IBF 1988. Dalam pertemuan itu diputuskan IBF akan menggelar sebuah kejuaraan dunia beregu campuran bernama Piala Sudirman.

Dan Piala Sudirman pun untuk pertamakalinya digelar IBF. Kejuaraan itu digelar pertama kali di Istora Senayan Jakarta pada 24 hingga 29 Mei 1989. Dan Indonesia menjadi juaranya usai mengalahkan tim bulutangkis Korea Selatan. Sejak saat itu, tak pernah lagi Piala Sudirman digelar di Indonesia. Termasuk hingga tahun 2025 nanti.

Selama ini baru ada tiga negara yang menjadi tuan rumah Piala Sudirman, yaitu China, Indonesia dan Korea Selatan. China merupakan negara terbanyak jadi tuan rumah, tercatat sudah 10 kali Piala Sudirman digelar di negeri panda itu. Sementara Korsel sudah 4 kali menjadi tuan rumahnya.  

Sementara, Piala Suhadinata dibuat untuk menghormati jasa Surhasa Suhadinata. Kejuaraan dua tahunan ini telah digelar 15 kali, dengan China sebagai tuan rumah pertama di tahun 2005. Dan Indonesia menjadi tuan rumah ke 15 yaitu ketika digelar di Yogyakarta 2015.

Piala Thomas Uber dan Kejuaraan Dunia

Kedua kejuaraan ini merupakan yang paling akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutam Piala Thomas. Sebab dari 29 kali digelar, tim putra Indonesia paling banyak merebut medali emas dengan jumlah 13 medali emas dan 6 perak.

Dan, sejak Piala Thomas digelar pertama kali tahun 1949 di Inggris. Indonesia sudah menjadi tuan rumah 8 kali di tahun 1961, 1967, 1973, 1979, 1986, 1994, 2004, dan 2008. Selam jadi tuan rumah, Indonesia 4 kali merebut medali emas di tahun 1961, 1973, 1979 dan 1994.

Sedangkan di kejuaraan Piala Uber, tim putri Indonesia sudah merebut 3 medali emas dan 7 perak. Sejak pertama kali digelar di Inggris pada 1957. Indonesia pernah menjadi tuan rumah 5 kali, yaitu di tahun 1975, 1986 1994, 2004 dan 2008.

Indonesia merebut medali emas di kandang sendiri pada tahun 1975 dan 1994.

Sementara itu, Indonesia tercatat sudah tiga kali menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Bulutangkis. Bahkan, Indonesia sudah menjadi tuan rumah di Kejuaraan Dunia kedua tahun 1980. Lalu Kejuaraan Dunia ke-6 tahun 1989 dan yang terbaru Kejuaraan Dunia ke-22 tahun 2015 di Jakarta. (**H)


Sumber: VIVA





Berita Terkait

Tulis Komentar