Kasus Munir, Suciwati Sebut Rezim Jokowi Mirip Soeharto

  • Kamis, 06 September 2018 - 21:54:05 WIB | Di Baca : 1117 Kali

 


SeRiau - Jumat (7/9) besok kasus pembunuhan Aktivis Hak Asasi, Munir Said Thalib genap berusia 14 tahun. Selama itu juga kasus pelanggaran HAM ini dianggap belum tuntas.

Hanya Pollycarpus Budihari Prijanto yang berhasil dihukum dalam kasus pembunuhan Munir, dan kini ia pun sudah bebas murni. Sementara dalang di belakangnya, yang diduga kuat adalah mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono, masih bebas.

Istri Munir, Suciwati mengatakan negara seharusnya malu karena sudah lebih dari satu dasawarsa kasus ini masih mengganjal. Padahal banyak pihak yang sudah mendesak agar kasus ini segera dituntaskan dengan mengungkap dalang utama pembunuh pendiri KontraS itu.

"Jadi sebetulnya harusnya malu ya negara karena sudah banyak pihak yang terlibat mau di dalam negeri mau di luar negeri semuanya minta keadilan itu," kata Suciwati di acara Kamisan 552 memperingati 14 tahun kematian Munir, di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/9).

Apabila kasus Munir tak dituntaskan, menurut Suciwati bakal membuat bangsa ini semakin terpuruk. Sebab menurut dia, martabat bangsa tidak semata dinilai dari pembangunan infrastruktur.

Hal itu, kata Suciwati, malah membuat citra pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin mirip dengan rezim orde baru yang tidak menghargai hak asasi manusia (HAM), dan hanya mementingkan pembangunan fisik.

"Menilai dignity, soal martabat bangsa bukan soal infrastruktur soal pembangunan. Itu kan kayak zamannya Soeharto ya, " kata dia. 

"Ini bangun-bangun (infrastruktur) tapi soal hak asasi, soal penistaan agama itu justru marak, aktivis yang dibawa ke kasus pencemaran nama baik, itu menunjukan perlindungan semakin lemah," terang Suciwati.

Tim Advokasi Kasus Pembunuhan Munir Putri Kanesia mengatakan titik terang dari kasus Munir ada di dokumen lengkap penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF).

Menurut Putri pemerintah setidaknya harus segera mengumumkan isi dari dokumen tersebut. Ia pun tidak yakin alasan pemerintah bahwa dokumen itu hilang benar.

Kontras memenangkan sengketa soal Dokumen TPF Munir di Komisi Informasi Publik (KIP). KIP meminta Kemensetneg untuk segera mengungkap dokumen TPF ke publik.

Meski demikian, putusan itu digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang dengan putusan, Kemensetneg tidak perlu mengeluarkan dokumen itu karena tidak ada di mereka.

KontraS pun, lanjut Putri kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan akhirnya kalah. Namun dari proses panjang gugatan pengungkapan dokumen itu Putri menemukan suatu keanehan.

"Ada yang menarik dari putusan kasasi, alasan pertimbangan MA mengatakan bahwa baik presiden tidak perlu mengumumkan dokumennya karena itu hilang," ujarnya. "Hakim PTUN bilang dokumennya tidak ada, sementara MA tidak perlu diumumkan karena hilang, jadi ini yang benar yang mana dokumennya hilang atau enggak ada."

Putri mengatakan penuntasan kasus Munir tinggal menunggu kemauan dari pemerintah, karena dia yakin dokumen TPF sebenarnya masih ada. Di dalam dokumen itu kata Putri, mengutip pernyataan dari Ketua Tim TPF Munir Marsudi Hanafi masih ada beberapa nama yang bisa tersangkut dalam kasus ini.

Ia juga menduga nama-nama tersebut adalah orang penting di lingkaran pemerintahan sehingga apabila diungkap dapat menimbulkan suasana yang tidak kondusif.

Sementara itu, menurut Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Pury Kencana Putri penuntasan kasus Munir bisa menjadi pangkal untuk membuka kasus-kasus pelanggaran HAM yang masih belum selesai.

"Munir ini pangkal dari kasus pelanggaran HAM berat dia menjadi simpul kasus pelanggaran HAM berat. Kalau kita tahu siapa yang berkepentingan membunuh Munir diduga kuat itu terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi Munir," ujar Pury.

 


Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar