Menelusuri Sumber Data Amien Rais soal Penguasa 74% Tanah RI

  • Rabu, 28 Maret 2018 - 22:25:03 WIB | Di Baca : 1224 Kali

SeRiau - Amien Rais menyebut 74% lahan di Indonesia dikuasai kelompok tertentu saja. Selanjutnya, kontroversi bergulir mempertanyakan data yang digunakan senior PAN itu.

Putra Amien Rais sekaligus Wakil Ketua Umum PAN, Hanafi Rais, menyatakan data itu merupakan data Bank Dunia pada 2015. Tak lama kemudian, pihak Bank Dunia membantah dengan menyatakan pihaknya tak pernah merilis data penguasaan lahan semacam itu.

Lalu, dari mana pihak Amien Rais mendapatkan data itu? 

Dari penelusuran detikcom, Rabu (28/3/2018), sejumlah pihak pernah berbicara tentang ketimpangan penguasaan lahan. Tercatat ada pihak Komnas HAM, Ombudsman, Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga lembaga-lembaga lain yang khusus membidangi masalah agraria.

Mantan Ketua Komnas HAM

Tercatat pada 15 September 2016, Ketua Komnas HAM periode 2012-2017 Hafid Abbas menyampaikan hal yang mirip dengan yang dinyatakan Amien Rais belakangan ini, yakni 74% lahan di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk. Saat itu, Hafid mengklaim mendapat data dari Bank Dunia keluaran 15 Desember 2015.

Sejauh ini, detikcom belum berhasil menemukan data Bank Dunia yang dimaksud Hafid, bahkan sebenarnya Bank Dunia sendiri juga sudah membantah pernah merilis data seperti itu. Kemudian detikcom bertanya kembali kepada Hafid, apa benar itu berasal dari data Bank Dunia?

"Benar. Bisa benar itu," kata Hafid pada Rabu (21/3) lalu. 

Lebih lanjut, dia menjelaskan persentase itu adalah hasil olahan dari berbagai data, tak hanya satu sumber data. 

"Data yang ada di KPK dan kementerian terkait. Teman-teman di KPK kan kumpul data distribusi penguasaan lahan," kata Hafid.

Hafid menyatakan 35 juta hektare tanah dikuasai beberapa orang saja, yakni lewat konsesi yang didapat sejak zaman Presiden Soeharto dan dilanjutkan secara turun-temurun. Dia juga mengatakan ada empat pengusaha di Indonesia yang kekayaannya hampir sama dengan kekayaan setengah penduduk Indonesia dan segelintir kelompok itulah pemilik tanah yang sangat luas. 

"Banyak sih laporan-laporan itu diolah, dari data yang ada. Tidak satu sumber," kata Hafid, yang kini menjadi guru besar di Universitas Negeri Jakarta.

Anggota Ombudsman

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, tercatat juga pernah menyatakan hal serupa sebagaimana dinyatakan Amien Rais dan Hafid Abbas, yakni 74% luas lahan dimonopoli oleh 0,2% orang Indonesia saja. Ini dinyatakannya pada awal 2017. Dimintai konfirmasi lagi, Alamsyah mencoba meluruskan apa yang pernah disampaikannya tahun lalu itu.

"Saya katakan saat itu, ada pihak yang menyatakan 74% lahan dikuasai hanya oleh 0,2%," kata Alamsyah kepadadetikcom, Rabu (21/3).

Alamsyah menyatakan kondisi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia masih parah. Kebijakan redistribusi lahan tidak jelas. Menurutnya, problem agraria bukan hanya soal pengakuan hak atas tanah, tapi juga harus ada redistribusi lahan untuk meratakan kepemilikan lahan yang timpang. Lalu, dari mana dia mendapatkan data bahwa 74% lahan dikuasai segelintir orang itu?

Alamsyah tak mengetahui dari mana sumbernya karena dia hanya pernah mendengar satu pihak menyatakan persentase itu. Menurut Alamsyah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) punya data berbeda soal ketimpangan penguasaan lahan. Meski ketimpangannya tak sampai 74%, masih kata Alamsyah, kondisinya tetap parah.

Alamsyah juga mengatakan pejabat BPN pada 2015 menyatakan ada 0,2% penduduk yang menguasai 56% lahan di Indonesia. Data itu dikutip Ombudsman RI. Namun itu tadi, persentase tersebut didapat Ombudsman bukan dari riset BPN.

"Tidak ada (penelitiannya). Itu dari pernyataan pejabat BPN," kata Alamsyah.

ICW

Pada 9 November 2014, Mouna Wasef dari ICW pernah mengungkapkan 57,4% lahan dikuasai korporasi-korporasi besar. Korporasi itu tidak hanya berasal dari Indonesia, tapi juga dari Malaysia dan Singapura. Bila tinjauan ditambah dengan lahan inti dan plasma, penguasaan lahan oleh mereka bisa sampai 95%. Ada 25 taipan yang menguasai lahan mahaluas itu.

"Kekayaan mereka (25 taipan) setara dengan 45% APBN Indonesia 2014, jadi sangat tidak sebanding dengan apa yang negara dapatkan dari mereka melalui pajak," kata Mouna dalam diskusi bertema 'Praktik Korupsi dan Penyimpangan Pajak di Sektor Perkebunan', di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, tiga tahun silam. Mouna mendasarkan pernyataannya pada data Kementerian Pertanian. 

Dari Aktivis Agraria

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam siaran pers Hari Tani Indonesia 2017 menyatakan, dari seluruh wilayah daratan Indonesia, 71% dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan skala besar, dan 7% oleh para konglomerat. Sedangkan rakyat kecil cuma menguasai sisanya.

Organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang isu agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), juga berbicara tentang hal ini. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan pihaknya melihat persentase penguasaan lahan dari data-data resmi pemerintah. Data itu kemudian dianalisis dan disintesis sehingga bisa menunjukkan ketimpangan secara jelas.

"Itu datanya terserak di banyak kementerian, di banyak presentasi, dan diskusi-diskusi dengan pemerintah," kata Dewi Kartika kepada detikcom, Rabu (21/3).

KPA menyatakan 46% lahan di luar kawasan hutan dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Luasnya adalah 33,5 juta hektare, dikuasai lewat hak guna usaha (HGU). Adapun di kawasan hutan, 35 juta hektare dikuasai hutan tanaman industri, lewat hak pengusahaan hutan (HPH), dan perusahaan konservasi. Di Jawa, hutan dimonopoli oleh Perhutani.

"Mayoritas petani kita adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Sisanya lagi adalah petani tak bertanah (tunakisma), bekerja sebagai buruh tani di perkebunan skala besar," ujarnya.

Oxfam Briefing Paper bekerja sama dengan Infid menerbitkan tulisan 'Toward a More Equal Indonesia' pada Februari 2017. Di situ disebutkan petani kecil Indonesia punya kurang dari seperempat hektare lahan, yang hasilnya tak cukup untuk mempertahankan hidup keluarganya. 

Berdasarkan penelitian pada 2015 yang dilakukan Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan konsultan ekonomi Profundo, hanya 25 kelompok pebisnis besar yang mengontrol hampir 51 persen dari 5,1 juta hektare perkebunan sawit di negara ini. Sekitar 5,1 juta hektare hampir setara dengan setengah Pulau Jawa. Lima perusahaan memegang lebih dari 300.000 hektare. Konsentrasi kepemilikan lahan di tangan korporasi-korporasi besar dan orang-orang kaya berarti manfaat kepemilikan lahan bertambah untuk lapisan atas dan tak terbagi dengan adil. Penelitian Oxfam dan Infid ini mengakui ada upaya Presiden Jokowi mengatasi ketimpangan.

Lalu, mana yang menjadi landasan pernyataan Amien Rais?

Belum ada penjelasan lebih lanjut dari Amien ataupun Hanafi soal landasan data bahwa 74% lahan dikuasai oleh kelompok tertentu. Namun, yang jelas, ketimpangan penguasaan lahan di negara ini adalah hal yang nyata. 

Sebenarnya soal isu ketimpangan penguasaan lahan, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto juga pernah menyatakan yang lebih parah daripada Amien Rais. Prabowo menyatakan 80% tanah dikuasai oleh 1% rakyat saja. Namun pernyataan Prabowo soal ini tenggelam oleh riuh perang penyataan soal 'Indonesia bubar tahun 2030'. 

Terlepas dari perang pernyataan para elite politik itu, tentu ketimpangan penguasaan lahan adalah masalah yang tak bisa dianggap remeh. Bahkan Presiden Jokowi juga mengakui ketimpangan ini masih ada. Isu ini tak bisa pula hanya berakhir menjadi komoditas retorika politik. 

"Ketimpangan struktur agraria (utamanya tanah) itu nyata. Segelintir orang/kelompok, badan usaha besar menguasai jutaan hektare tanah di Indonesia. Tetapi mayoritas warga Indonesia menguasai dan mengusahakan sedikit tanah. Political will sudah ada untuk menjalankan reforma agraria. Tetapi realisasinya masih jauh dari harapan," ujar Dewi Kartika.*#

Sumber: detiknews





Berita Terkait

Tulis Komentar