Mengapa Bintang Kejora Bisa Berkibar di Seberang Istana?

  • Jumat, 30 Agustus 2019 - 14:50:39 WIB | Di Baca : 1577 Kali
Aksi demo mahasiswa Papua di depan Istana Merdeka mengibarkan bendera Bintang Kejora.

 

SeRiau - Bendera Bintang Kejora berkibar di depan Istana Merdeka dalam aksi unjuk rasa para pemuda Papua menuntut referendum, pada Rabu (28/8). Selama ini, bendera bermotif garis putih biru diagonal dengan bintang dibalut merah di sisi kanan tersebut, diidentikkan sebagai simbol separatisme Papua.

Aparat keamanan yang mengawal aksi unjuk rasa tersebut tak melakukan tindakan tegas terhadap pengibaran Bintang Kejora itu. Pernyataan tegas baru keluar sehari setelah kejadian, lewat Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Tito meminta Kapolda Metro Jaya mengusut pengibaran Bintang Kejora itu. "Tegakkan hukum sesuai apa adanya kita harus hormati hukum," kata Tito, kemarin, merespons Bintang Kejora di seberang Istana.

Sikap aparat yang terkesan membiarkan pengibaran tersebut dianggap sebagai bagian dari strategi pengendalian massa. 

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi mengatakan sikap itu untuk menjaga situasi di sejumlah daerah setelah kerusuhan yang terjadi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat.

"Dalam tata kelola pengendalian massa memang ada cara atau pendekatan. Ketimbang (konflik) makin keras, maka ya sudah dibolehkan selama tidak dalam posisi mengancam. Itu dipahami betul oleh aparat keamanan, jadi bukan pembiaran," ujar Muradi kepada CNNIndonesia.com.

Kerusuhan di Papua dan Papua Barat dalam beberapa hari terakhir memang telah menyita perhatian besar dari publik dan media massa. 

Rusuh yang terjadi di Manokwari, Sorong, Fakfak dan daerah lain telah mengakibatkan banyak kantor dan fasilitas milik pemerintah dirusak oleh massa.

Menurut versi pemerintah, kerusuhan bahkan memakan korban seorang anggota TNI dan dua warga sipil tewas. Korban jatuh dalam kerusuhan di Deiyai, yang dipicu oleh unjuk rasa masyarakat Papua merespons insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.

Aparat sendiri cukup berhasil dalam mengawal unjuk rasa dan pengibaran Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka. 

Dalam pengamanan itu tidak ada bentrokan yang menimbulkan korban. Meski demikian, pengibaran Bintang Kejora di tepat di jantung kekuasaan Republik, menjadi catatan sejarah tersendiri. 

Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, tak pernah ada aksi terkait Papua yang terang-terangan memamerkan simbol separatisme di depan Istana Merdeka. 

Di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Bintang Kejora memang pernah bebas berkibar.

Menurut Gus Dur, bendera itu sekadar lambang kultural sehingga boleh berkibar dengan syarat dikibarkan di bawah Merah Putih. 

Toh, meski punya kebijakan longgar namun tak pernah ada pemberitaan tentang Bintang Kejora berkibar di depan Istana Merdeka di era pemerintahan Gus Dur. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono punya kebijakan lebih tegas lagi soal ini. Pemerintah, saat SBY memimpin, sampai membuat peraturan khusus mengenai ini.

Aturan tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah 77 Tahun 2007. Pasal 6 ayat (4) dalam PP itu menyatakan desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan dengan logo dan bendera organisasi terlarang/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam NKRI. 

Desain logo dan bendera organisasi terlarang ini merujuk pada logo yang pernah digunakan gerakan separatis di Provinsi Aceh, bendera benang raja di Maluku, termasuk Bintang Kejora di Papua. 

Tak ada ketentuan sanksi yang jelas bagi pihak yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Namun selama ini aparat kepolisian kerap menjerat warga menggunakan pasal makar dalam KUHP.

Salah satunya aktivis Papua Filep Karma yang pernah divonis 15 tahun penjara atas tuduhan makar usai mengibarkan Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura pada Desember 2004. 

Kebijakan tegas SBY itu membuat Bintang Kejora dikibarkan hanya di tempat-tempat tertentu, yang jauh dari jangkauan aparat keamanan. 

 

Sikap tegas SBY itu sebenarnya berlanjut hingga Presiden Jokowi. Penindakan terhadap warga yang mengibarkan Bintang Kejora pernah terjadi di masa Presiden Jokowi. Dalam sejumlah aksi unjuk rasa, polisi beberapa kali menangkap massa yang hendak mengibarkan bendera Bintang Kejora. 

 

Atas dasar itu Muradi kembali menegaskan bahwa pengibaran Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka pada Rabu lalu bukan sebuah kecolongan pemerintah.

 

Dia meyakini aparat keamanan telah mengkaji langkah yang harus dilakukan saat melihat pengibaran bendera Bintang Kejora di depan istana. Aparat dinilai telah mempertimbangkan kondisi yang belakangan memanas karena isu rasial. 

 

"Kalau kondisi saat ini, semua orang Papua pasti (mudah) marah karena dipanggil monyet, dan sebagainya. Jadi lebih sentimen, maka aparat sengaja melakukan pengondisian massa seperti itu," katanya. 

 

Sikap hati-hati dari pemerintah juga tecermin dari pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

 

Moeldoko dalam pernyataannya menuding pengibaran itu sengaja dilakukan untuk memprovokasi agar aparat mengambil tindakan represif. Namun ia menegaskan pemerintah dan aparat tak terpancing.

 

Pengamat politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai pemerintah saat ini memang lebih hati-hati menyikapi konflik yang terjadi di Papua, berkaca dari peristiwa kemerdekaan Timor Leste pada 2002. Menurut Wasisto, pemerintah tengah berupaya melakukan pendekatan yang lebih lunak untuk menghadapi konflik di bumi cenderawasih itu. 

 

"Sebenarnya pemerintah kan sangat mewaspadai Timor Leste baru. Jadi saya pikir pemerintah belajar dari kesalahan di masa lalu di mana kalau berlaku represif itu akan menimbulkan sentimen lebih besar," tuturnya. 

 

Ia tak menampik bahwa upaya pembiaran pengibaran bendera itu tak lepas dari strategi pemerintah meredam konflik yang lebih besar. Di sisi lain, pembiaran itu juga menjadi upaya untuk mengimbangi sentimen rasial yang muncul pasca-kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

 

"Ini strategi pemerintah mereduksi eskalasi konflik yang lebih besar. Jadi aparat berusaha memberi ruang untuk mengimbangi sentimen rasial itu," katanya. 

 

Jika aparat memaksa menurunkan pengibaran bendera, Wasisto meyakini hal itu akan memicu kerusuhan tak hanya di Jakarta namun juga Papua dan wilayah lain. Selain itu, upaya aparat untuk menurunkan bendera juga akan semakin memberi stigma negatif pada pemerintah. 

 

Imbasnya, lanjut dia, konflik yang terjadi akan memicu perhatian dunia internasional dan membuat citra pemerintah Indonesia semakin buruk. 

 

"Kalau aparat reaktif menurunkan (bendera) sama saja pemerintah melegitimasi ada rasialisme. Itu akan memicu perhatian dunia internasional. Jadi seolah ada pembenaran terkait konflik yang selama ini terjadi," kata Wasisto.

 

 

 

 

 

 

Sumber CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar