MPR: Cari Pimpinan MPR Mendatang yang Amendemen UUD NRI 1945

  • Senin, 08 Juli 2019 - 22:06:27 WIB | Di Baca : 1000 Kali

SeRiau - Anggota MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno berharap pimpinan MPR mendatang harus bisa menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi. Selain itu, dia berharap dapat mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun haluan negara.

"Tugas kita sampai tahun 2024 adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara minus kewenangan untuk memilih presiden sebagai mandataris," kata Hendrawan dalam keterangan tertulis, Senin (8/7/2019). 

Dia, yang hadir dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema 'Menjaga Politik Kebangsaan, Layakkah Semua Fraksi di Kursi Pimpinan MPR?' di media centergedung Nusantara III, kompleks parlemen, juga mengatakan PDI Perjuangan bertekad menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. 

"Dalam Rakernas PDI Perjuangan tanggal 19 Juni yang lalu, yang tertutup, kembali Ketum kami menegaskan MPR harus menjadi lembaga tertinggi negara supaya dalam Undang-Undang Dasar negara kita ada struktur ketatanegaraan kita," ujarnya.

Selain itu, Hendrawan mengungkapkan pentingnya haluan negara. MPR sudah melakukan kajian soal haluan negara. Ketua MPR juga sudah mengumumkan pembentukan dua panitia ad hoc, yaitu PAH I mengenai haluan negara yang dipimpin oleh Ahmad Basarah dan PAH II tentang rekomendasi MPR yang dipimpin Rambe Kamarulzaman.

"Oleh sebab itu, kita cari paket pimpinan MPR yang bertekad melakukan amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945," tuturnya.

Salah satu rekomendasi MPR periode lalu (2009-2014) adalah mengkaji sistem ketatanegaraan Indonesia sekaligus melakukan langkah-langkah amendemen UUD.

"Untuk jumlah pimpinan MPR, Hendrawan mengatakan sebaiknya mengikuti UU yang sudah ada, yaitu UU No 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU MD3. Dalam UU itu disebutkan pimpinan MPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dalam satu paket. "Kita jalankan saja UU ini karena sudah jelas," katanya

Sementara itu, anggota MPR dari Partai Demokrat, Mulyadi, mengatakan tidak ada formula dan ketentuan yang mengatur lima pimpinan MPR dari fraksi apa saja. Tidak ada yang baku siapa yang layak sebagai Ketua MPR. Dia mencontohkan pada 2009 ketika Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, kursi pimpinan MPR diserahkan ke PDI Perjuangan, almarhum Taufiq Kiemas. Penyerahan kursi Ketua MPR itu merupakan bagian dari distribusi kekuasaan. 

"Sebaiknya yang sudah mendapat kursi di DPR tidak lagi mendapat kursi di MPR. Pimpinan MPR diprioritaskan pada partai yang belum mendapat kursi di pimpinan DPR. Ini bagian dari distribusi kekuasaan," sambung Mulyadi.

Soal layak atau tidak layak semua fraksi mendapat kursi pimpinan MPR, Mulyadi menilai pemilihan pimpinan lembaga Dewan, termasuk MPR, adalah persoalan politik terkait dengan keinginan-keinginan partai. Sehingga terjadi negosiasi-negosiasi di antara partai supaya tidak terjadi kegaduhan. 

"Dalam hal ini, Partai Demokrat mengalir saja. Kita lihat situasi dan kondisi atau pandangan fraksi nanti," ujarnya. 

Narasumber lain pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat pemilihan pimpinan MPR bukanlah persoalan hukum, melainkan soal politik. Untuk menjaga atmosfer kebangsaan dan kehidupan bernegara, Margarito mengatakan DPR dipimpin oleh ketua dari kalangan nasionalis, sedangkan MPR dipimpin oleh ketua dari kalangan agama. 

"Kalau Ketua DPR dari kelompok nasionalis, masuk akal jika Ketua MPR dari kelompok agama," katanya. 

Kombinasi itu, menurut Margarito, sesuai dengan keinginan Bung Karno. Jika kedua kekuatan politik itu, nasionalis dan agama, bisa rukun, situasi kebangsaan juga adem. 

"Partai berasaskan agama perlu dipertimbangkan dalam rangka memastikan atmosfer kebangsaan mewakili kekuatan besar nasionalis dan kekuatan agama. Layak atau tidak layak bukan soal hukum, tapi soal politik, yaitu persoalan integrasi bangsa, kesatuan, dan kekokohan bangsa," tutupnya. (**H)

 

Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar