MUI: Tak Ada Kata Haram Golput, Tapi Wajib Memilih

  • Rabu, 27 Maret 2019 - 18:52:06 WIB | Di Baca : 1257 Kali

SeRiau - Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan perbedaan pendapat soal fatwa bagi muslim yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu alias golongan putih (golput).

Ketua MUI Bidang Fatwa, Huzaimah, menyatakan lembaganya tidak pernah menerbitkan fatwa golput haram. Hal itu berlawanan dengan pernyataan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Muhyiddin Junaidi yang menyebut bahwa golput haram.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Didin Hafidudin mengatakan MUI memang mewajibkan umat Islam untuk memilih pada pemilu. Hal itu berdasarkan fatwa MUI 2009 tentang Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilu.

Didin mengatakan dalam fatwa itu tidak disebutkan dengan jelas bahwa golput itu haram hukumnya bagi umat Islam. Karena itu, menurutnya, tidak ada pertentangan antara pernyataan Huzaimah dan Muhyidin.

"Kan, memang tidak ada kata haram golput, tetapi wajib memilih, bukan haram golput. Jadi sebenarnya tidak ada perbedaan," ujar Didin.

Ia mengatakan perbedaan tersebut bisa muncul lantaran ada perbedaan interpretasi. Didin pun menilai perbedaan interprerasi itu sebagai hal yang wajar.

"Mungkin perkataan wajib itu kan biasanya versusnya haram, solat itu wajib, maka meninggalkan solat itu haram. Jadi tafsirannya itu. Ada perbedaan, biasalah," kata Didin.

Saat ditanya soal kepastian hukum golput bagi umat muslim, Didin tidak menjelaskannya dengan gamblang. Ia hanya menegaskan memilih dalam Pemilu itu wajib hukumnya.

"Tidak disebutkan (haram) lah interpretasi aja itu," kata Didin.

Sementara Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsudin meminta agar perbedaan pendapat itu tidak dipertentangkan. Menurutnya, berdasarkan fatwa MUI 2009, umat Islam wajib memilih dalam pemilu.

"Jadi mohon jangan dipertentangkan, kalau di kalangan ulama boleh jadi ada perbedaan pendapat tapi kalau pertanyaannya kepada MUI secara kelembagaan itu jawabannya (wajib memilih), baik komisi fatwa maupun dewan pertimbangan," ujar Din.

Fatwa MUI terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu tertuang dalam buku berjudul "Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975" yang diterbitkan Erlangga. Hal itu dijelaskan pada halaman 867 dengan bab keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia Ketiga Tahun 2009.

Fatwa itu berisi lima point terkait penggunaan hak pilih dalam pemilu.

Pertama, pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Kedua, memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

Ketiga, imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Dalam fatwa itu, MUI juga memberikan dua rekomendasi. 

Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.

Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.

Fatwa ini ditetapkan di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 26 Januari 2009. Pimpinan MUI yang menandatangani fatwa itu adalah pimpinan Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MUI Masyhuri Na'im, dan Sekretaris Sholahudin Al Aiyub. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar