Komnas Perempuan: Laporan Kekerasan Seksual Meningkat di 2018

  • Rabu, 06 Maret 2019 - 20:06:46 WIB | Di Baca : 1052 Kali

SeRiau - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) pelaporan kekerasan seksual sepanjang tahun 2018. Laporan yang diterima Komnas Perempuan, kekerasan seksual paling tinggi berada pada ranah privat atau personal.

"Tahun 2018 mengalami kenaikan sebanyak 14 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 406.178 (kasus). Pola kekerasan yang terjadi masih sama, lagi-lagi yang paling tinggi di ranah personal atau ranah privat, ranah yang paling dianggap tabu untuk diungkapkan di ruang publik atau di ruang-ruang politik sebanyak 71 persen, yaitu 9.637 kasus, di antaranya adalah KDRT atau relasi personal atau relasi pribadi," kata Komisioner Komnas Perempuan Mariana Aminuddin di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (6/3/2019).

Bentuk kekerasan seksual di ranah personal atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) paling tinggi adalah incest, perkosaan, dan pencabulan. Marital rape atau perkosaan dalam perkawinan termasuk kasus yang paling mencuat tahun 2018 lalu.

"Tahun 2018 angka perkosaan dalam perkawinan atau marital rape cukup tinggi, mencapai 195 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 172 kasus. Keberanian melaporkan kasus perkosaan dalam perkawinan menunjukkan kesadaran korban bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan adalah perkosaan yang bisa ditindaklanjuti ke proses hukum," jelas Mariana.

Temuan Komnas Perempuan berikutnya adalah kasus incest atau kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, paman, atau saudara yang masih memiliki hubungan darah dengan korban. Komnas Perempuan juga mencatat kasus kekerasan dalam pacaran (KDP).

"Kasus KDP ditemukan peningkatan pelaporan dan ragam bentuk kekerasannya bertambah. Pertama adalah kekerasan dalam bentuk siber. Dalam kasus kekerasan berbasis siber, pola di dalam kasus KDP hampir sama, yakni korban diancam oleh pelaku dengan menyebarkan foto atau video korban yang bernuansa seksual di media sosial ketika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku, atau korban tidak kembali berhubungan dengan pelaku," paparnya.

"Kedua adalah pemaksaan hubungan seksual dan ingkar janji kawin. Pelaku melakukan bujuk rayu, biasanya akan menikahi korban agar pelaku dapat berhubungan seksual dengan korban. Ketiga adalah pemaksaan aborsi. Setelah berhubungan seksual bahkan hingga korban hamil, korban dipaksa aborsi atau ditinggalkan pelaku. Dan keempat, dalam bentuk kekerasan ekonomi, korban seringkali dimanfaatkan secara ekonomi," imbuhnya.

Kasus berikutnya adalah kekerasan seksual berbasis siber di mana perempuan menjadi objek pornografi. Menurut Mariana, kasus seperti ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah beban psikis korban, bahkan di antaranya banyak yang melakukan percobaan bunuh diri.

Temuan lain yang dipaparkan Komnas Perempuan adalah kasus kekerasan seksual pada perempuan disabilitas. Perempuan yang sering menjadi korban adalah penyandang tuna grahita dan disabilitas intelektual.

"Seringkali kasus terhenti karena kurangnya alat bukti, tidak adanya saksi dan keterangan saksi korban dianggap tidak cukup meyakinkan, serta minimnya penerjemah yang memahami bahasa isyarat juga menjadi kendala tersendiri dalam kasus ini," tuturnya.

Tingginya angka kekerasan seksual dalam ranah privat menjadi perhatian sendiri bagi Komnas Perempuan. Mariana menegaskan bahwa kasus yang tersembunyi itulah yang justru berbahaya.

"Ini rumit, jadi yang privat itu justru yang paling rumit karena dianggapnya 'bukankah privat itu harusnya nggak ada apa-apa, baik-baik aja' gitu. Sebenarnya catahu ini untuk membongkar cara berpikir masyarakat bahwa justru yang nggak kelihatan itu yang sangat berbahaya, sangat harus dibantu," tegas Mariana.

"Jangan ada judge, jangan ada penghakiman. Karena kalau wilayah privat orang udah menghakimi, 'makanya jangan minta mobil sama suami, jadinya dibunuh, dipotong-potong deh'," pungkasnya. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar