Hasil Riset LIPI: 9 Provinsi Tak Keberatan Perda Syariah Diterapkan

  • Kamis, 15 November 2018 - 23:29:41 WIB | Di Baca : 1140 Kali

SeRiau - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan hasil riset terkait intoleransi dan radikalisme, terdapat 42,5 persen menyetujui jika Perda Syariah diberlakukan 9 Provinsi di Indonesia.

Sembilan provinsi tersebut yakni DKIJakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Pertimbangan sembilan provinsi sebagai contoh karena daerah yang paling rawan terhadap potensi intoleransi dan radikalisme.

"Sudah ada hasilnya memang ada 42,5 persen tidak keberatan jika Perda Syariah diberlakukan di suatu wilayah, meskipun masyarakatnya menganut agama atau keyakinan yang beragam," kata Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI, Sri Yanuarti dalam Kampanye Publik Hasil Penelitian Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia, di Hotel Patra Jasa Semarang, Kamis (15/11).

Dia menyebut dari 1.800 responden dengan 200 responden tiap provinsi mayoritas tidak setuju jika Perda Syariah diberlakukan, meskipun masyarakatnya menganut agama atau keyakinan beragam.

"Mayoritas tidak setuju sebesar 43,6 persen. Ini memberi catatan umum bahwa keberagaman di Indonesia sedang terancam," ujarnya.

Keberagaman terancam, bukan berarti menggambarkan secara umum akan timbul intoleransi dan radikalisme yang saling mengalahkan antaragama, suku dan kepercayaan.

"Ada 62,6 persen responden yang tidak setuju saat klaim pemeluk agama selain agamanya adalah sesat, dan 54,4 persen responden tidak setuju akan penolakan pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungan sekitarnya. Jadi masih ada rasa hormat-menghormati," katanya.

Dari hasil survei respoden di sembilan provinsi juga masih menjunjung bahwa Pancasila merupakan ideologi yang paling tepat untuk negara Indonesia, sebesar 61 persen. Bahkan saat ditanya tentang pembubaran kegiatan agama lain, responden menjawab tidak setuju sebesar 78,9 persen.

"Faktor penyebabnya intoleransi dan radikalisme justru bermuara pada penggunaan media sosial yang memprovokasi perasaan terancam, ketidakpercayaan pada agama lain, fanatisme agama, dan sekularitas," jelasnya.

Dia mengakui, media sosial dinilai berdampak besar dalam menyemai bibit-bibit radikalisme dan intoleransi. Riset dilakukan selama satu tahun, dengan pengambilan dan pengolahan data di sembilan provinsi pada bulan Juli-September 2018. Menggunakan metode multistage random sampling.

"Maka, saya meminta penggunaan Undang-Undang di Sosmed, ITE harus bisa diterjemahkan dengan lebih baik oleh Kementerian Kominfo," katanya.

Pihaknya pun sedikit berlega, lantaran dari hasil survei menghasilkan pula respons terkait reaksi pertama saat membaca dan mendengar berita-berita terkait isu keagamaan tertentu yang cenderung menghasut.

"Responden 44,2 persen menjawab mengabaikan, 42,4 persen akan mencari tahu kebenaran informasi, membalas dengan komentar ada 1,2 persen dan yang marah sebesar 7,6 persen," terangnya. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar