Menimbang Potensi Resistensi Cawapres Jokowi

  • Rabu, 01 Agustus 2018 - 19:05:48 WIB | Di Baca : 1159 Kali

 

SeRiau- Presiden Joko Widodo disebut telah mengantongi sejumlah nama kandidat calon wakil presiden untuk Pilpres 2019. Nama-nama cawapres itu kemudian sudah mengerucut menjadi lima kandidat.

Namun hingga hari ini Jokowi belum juga mengumumkan siapa cawapresnya. Sementara masa pendaftaran pasangan capres-cawapres sudah dibuka KPU Sabtu 4 Agustus dan akan berakhir pada Jumat 10 Agustus mendatang.

Menjelang pendafataran dibuka, Jokowi sudah mulai terlihat sibuk. Beberapa kali dia menggelar pertemuan dengan petinggi partai pendukungnya.


Pertama pada 23 Juli lalu, Jokowi dan enam ketum partai koalisi bertemu di Istana Bogor, Jawa Barat. Mereka mendiskusikan beberapa persoalan, termasuk soal koalisi dan cawapres.

Pun pada Selasa 31 Juli kemarin, Jokowi juga mengundang sembilan sekjen partai pendukung di Istana Bogor. Salah satu bahasannya terkait persiapan pilpres.

Meski demikian, siapa sosok cawapres pendamping Jokowi masih teka-teki. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dikabarkan akan mengumumkan nama pasangannya sebelum masa pendaftaran capres-cawapres berakhir.

Belum dipilihnya siapa cawapres ini dinilai bagian dari strategi Jokowi. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Arie Sudjito menilai Jokowi masih membaca respons dari masyarakat terkait calon pendampingnya.

Menurut Arie dalam hal memilih cawapres ada beberapa pertimbangan. Misalnya, unsur keterwakilan kalangan masyarakat yang direpresentasikan melalui sosok bakal cawapresnya. 


Arie mengatakan, Indonesia terdiri dari beragam corak masyarakat, baik berdasarkan geografis, agama, bahkan latar belakang kehidupan seseorang. Nama-nama yang sudah dikantongi Jokowi, kata Arie, memenuhi masing-masing dari unsur itu.

Misalnya, Ma'ruf amin yang merepresentasikan kalangan ulama atau Moeldoko yang merepresentasikan kalangan militer. Pemilihan cawapres ini menjadi penting untuk menambah elektabilitas Jokowi dan juga menunjang kinerja ke depannya.

"Harus dipilih yang bisa mengimbangi pola politik, dan bisa menunjang kerja Jokowi. Juga harus bisa diterima parpol. tentu masing-masing parpol sebelumnya menunjukkan figur, tapi nanti yang diputuskan Jokowi tidak sampai menimbulkan resitensi," kata Arie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (1/8).

Namun yang paling penting, menurut Arie, Jokowi perlu memilih sosok yang tidak menimbulkan kontroversi. Ini penting agar agenda kerja ke depannya tidak terganggu.

"Kontroversi soal apapun, karena kalau kontroversi itu artinya punya reputasi buruk. Kalau wapresnya kontrovesi nanti akan kelelahan mengatasi isu-isu yang menyerangnya," kata Arie.

Berkaca pada Pilpres 2014, misalnya, kala itu setelah Jokowi memenangkan pemilu serangan terhadapnya tidak lantas berhenti. Masih banyak pihak menyerangnya dengan beragam isu bernuansa politis.

Jokowi perlu mempertimbangkan potensi resistensi dalam memilih cawapresnya untuk Pilpres 2019. Salah satunya yang harus bisa mewakili banyak kalangan. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Representasikan Umat Islam

Pendapat sedikit berbeda disampaikan peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai sosok yang diperlukan Joko Widodo sedianya merepresentasikan umat Islam. 

Menurut Siti, Jokowi memiliki basis masa dari kalangan nasionalis. Untuk menambah jumlah dukungan perlu mengambil basis masa kalangan lainnya dan yang cukup dominan di Indonesia adalah umat Islam. 

Dengan memilih wakil presiden dari kalangan umat Islam, maka elektabilitas Jokowi bisa meningkat karena terjadi kolaborasi tokoh yang merepresentasikan dua kalangan berbeda.

"Karena dukungannya itu kan masing-masing. Jokowi kan punya ceruk dukungan kalangan nasionalis," kata Siti.

Siti menilai, pilihan didampingi oleh kalangan yang mewakili umat Islam saat ini memang menjadi lebih dominan dari kalangan lainnya. 

Senada dengan Arie, Siti juga menilai perlu bagi Jokowi mempertimbangkan soal resistensi dalam memilih wakilnya. Karena jika memilih cawapres yang berpotensi menimbulkan resistensi akan menghambat kerja karena kegaduhan politik.

Beberapa nama yang merupakan kandidat kuat bagi calon Jokowi, kata Siti justru terkendala dengan hal ini.

Misalnya, Mahfud MD. Berdasarkan pengalamannya di eksekutif, legislatif dan yudikatif, termasuk dinilai sebagai perwakilan dari nahdlatul ulama (NU), tentu dukungan terhadap Mahfud cukup besar. Namun tidak lama setelah isu nama Mahfud merupakan salah satu kandidat, sebagian kalangan NU menolaknya.

Demikian juga dengan Jusuf Kalla. Menurut Siti pria yang akrab disapa JK itu berpeluang besar dari kandidat lainnya karena cukup merepresentasikan berbagai kalangan. Misalnya JK sebagai representasi masyarakat Indonesia bagian Timur karena berasal dari Makassar.

Kemudian, JK juga disebut dekat dengan para ulama dan kalangan elit. Selain itu, JK dinilai cukup piawai dalam perjalananya bersama Jokowi memimpin pemerintahan saat ini.

Namun, aturan membatasi seseorang bisa menduduki jabatan presiden dan wakil presiden sebanyak dua kali, menghambat JK.

"Kalau Pak JK kan praksis tidak ada resitensi, apalagi sudah teruji berpasangan selama lima tahun. Namun masalahnya, JK bekum clear di aturan," kata Siti.

Oleh karena itu, kata Siti, selain merepresentasikan berbagai kalangan, khsususnya umat Islam, maka Jokowi perlu mempertimbangkan potensi resistensi dalam memilih cawapresnya di Pilpres 2019 ( Sumber : CNNindonesia.com)





Berita Terkait

Tulis Komentar