Penyiaran Digital Indonesia Tertinggal Dibanding Malaysia

  • Senin, 27 Juli 2020 - 05:27:15 WIB | Di Baca : 7660 Kali

SeRiau - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan penyiaran digital di Indonesia masih ketinggalan bila dibandingkan negara tetangga seperti, Malaysia hingga Brunei Darussalam.

Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa, Henri Subiakto mengatakan peralihan dari TV analog ke penyiaran digital atau Analog Switch-Off (ASO) ini sudah dilakukan beberapa negara karena TV analog dianggap boros frekuensi.

"Kita ini negara tertinggal dalam hal ASO. TV yang ditonton di rumah itu analog. TV di Indonesia menghabiskan frekuensi, termasuk menyebabkan hp masyarakat  tidak sebaik di luar negeri, karena frekuensi broadbandnya dipakai rebutan dengan analog," kata Henri dalam webinar di Jakarta, Kamis (23/7).

Padahal frekuensi bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan lain untuk perkembangan ekonomi digital, termasuk untuk menyediakan internet cepat.

Henri mengatakan berbagai negara sudah menerapkan digitalisasi televisi. Belanda sudah menerapkan ASO sejak 2006. Sementara Inggris, Finlandia, Swedia dan Norwegia sudah sejak 2007.

Negara lain juga telah menerapkan ASO di Jerman dan Swiss pada 2008, Amerika (2009), Jepang (2011), dan Korea Selatan (2012). Beberapa negara di Asia Tenggara juga telah menerapkan ASO.

"Tetangga kita Brunei saja sudah ASO pada 2017, Singapura 2019, Malaysia 2019, Vietnam, Thailand, dan  Myanmar akan ASO 2020 ini. Hanya Indonesia yang belum," ujar Henri.

Henri mengatakan hal penyiaran digital bukan hanya persoalan soal penyiaran, tapi juga menyangkut bagaimana memanfaatkan ekonomi komunikasi di masa depan dan teknologi di masa depan.

Henri menjelaskan TV analog membutuhkan pita selebar 8 MHz untuk satu stasiun televisi. Sementara pita selebar 10 MHz semestinya bisa digunakan untuk menggelar jaringan 4G yang bisa dipakai atau mencakup jutaan orang.

TV analog boros frekuensi sehingga frekuensi yang tersedia agar masyarakat bisa akses internet menjadi sedikit. Padahal saat ini di era digital, Internet sangat dibutuhkan masyarakat.

Selain itu, secara keseluruhan TV analog juga banyak memakan pita frekuensi di 700 MHz sebanyak 328 MHz. Padahal jika TV analog beralih ke digital, maka hanya dibutuhkan pita selebar 176 MHz. Sementara sisa pita selebar 112 MHz, bisa digunakan untuk keperluan lain.

Ditambah, Indonesia juga akan memiliki cadangan 40 MHz yang bisa digunakan untuk perkembangan teknologi di masa depan. Kelebihan frekuensi ini menurutnya bisa menjadi dividen digital yang menjadi sumber keuangan negara.

"Sisanya bisa dimanfaatkan ke yang lain, digital dividen untuk streaming, untuk teknologi berbasis internet lain. Bahkan itu bisa hasilkan uang yang besar untuk negara," tuturnya.

Henri mengatakan Indonesia bisa rugi hingga puluhan triliunan rupiah dalam satu bulan, jika tak kunjung memiliki dividen digital berupa spektrum frekuensi.

Terpisah, Menkominfo Johnny G. Plate meyakini migrasi ke TV digital dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi industri penyiaran namun juga bagi masyarakat.

"Percepatan migrasi ini ditujukan untuk menjaga koeksistensi dari industri itu, menjaga kepentingan konsumennya, menjaga juga kepentingan publik dari sisi pemanfaatan spektrum frekuensi yang lebih lebih baik," tuturnya dalam Program Newscast CNN TV, Jakarta, Senin (20/7).

Menteri Johnny menyatakan dengan bermigrasi dari analog ke digital, akan ada penghematan di spektrum frekuensi berupa dividen digital.

Johnny mengatakan dividen digital dapat dioptimalkan untuk menambah penerimaan negara yang besar berupa penciptaan lapangan pekerjaan yang luar biasa.

"Jadi, digitalisasi itu justru untuk menghindari agar industrinya tidak masuk ke masa terbenam. Ini untuk membantu agar koeksistensinya bisa terjaga dengan pendatang baru yang disebut dengan Over The Top (OTT) Bussiness," jelasnya. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar