Akibat

  • Kamis, 08 November 2018 - 16:36:13 WIB | Di Baca : 1799 Kali

SeRiau - Pernahkah kita mengeluarkan komentar terhadap kasus pemerkosaan yang ada di sekitar kita? Misalnya, mengeluarkan kalimat, "Ah pasti dia pakai bajunya seksi", "Siapa suruh mau diajak cowok enggak jelas, kejadian kan", "Dia emang cewek nakal, pantas saja sampai begitu".

Komentar-komentar tersebut secara tidak langsung meletakkan posisi perempuan pada posisi bersalah (victim blaming) atas insiden pemerkosaan yang dialaminya.

Sementara. laki-laki yang menjadi pelaku pemerkosaan dianggap wajar dan memiliki insting naluriah atas nafsu yang ia lampiaskan.

Atau mungkin bisa jadi kalimat yang diucapkan seperti, "Ya kan dipegang doang, serius amat”, "Santai aja, sok suci deh", "Laki-laki memang begitu". Kalimat itu bisa jadi ringan diucapkan, namun termasuk dalam fenomena rape culture yang ternyata memiliki konsekuensi besar terhadap langgengnya praktik pemerkosaan di sekitar kita.

Bahkan, ketika kasus pemerkosaan dibawa ke ranah hukum, petugas polisi justru menyatakan hal-hal yang secara tidak langsung mematikan laporan pelapor.

Misalnya dengan kalimat, "Apa kejadian ini bukan karena suka sama suka", "Coba dibicarakan kekeluargaan dulu", dan sebagainya.

Semua itu masih ada, kerap kita dengar, atau bahkan kita sendiri ambil  bagian dalam kesalahan itu sampai saat ini. Sehingga, tak heran tindak pelecehan atau bahkan kekerasan seksual masih saja terulang di masyarakat.

Menurut Program Development Officer dari organisasi Rifka Annisa, Defirentia One Muharomah, kesalahan-kesalahan ini bersifat laten dan sudah mengakar di masyarakat.

"Rape culture ini sifatnya sistemik, kita enggak sadar bahwa itu sudah ada dan bahkan dilanggengkan dalam budaya kita. Ini juga menjadi penyebab kenapa banyak kasus perkosaan atau pelecehan seksual terus terjadi dan sulit ditangani," ujar Defi kepada Kompas.com, Kamis (8/11/2018) pagi.

Defi juga menyebutkan, praktik pemerkosaan yang dilanggengkan ini menyebabkan struktur sosial yang ada di masyarakat tidak lagi berfungsi. Selain itu, masyarakat kehilangan sensitivitas terhadap pelanggaran yang merugikan hak-hak korban.

Sementara, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indry Oktaviani, menyebutkan hal ini sebagai warisan budaya patriarki yang banyak dianut kebanyakan kelompok masyarakat di dunia.

"Hal ini terkait dengan budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia, itu proses sistematik,” ujar Indry. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar