Pengadilan HAM Eropa Nilai Menghina Nabi Muhammad Bukan Kebebasan Bereksrepsi

  • Sabtu, 27 Oktober 2018 - 12:32:02 WIB | Di Baca : 1224 Kali

SeRiau - Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) menetapkan bahwa menghina Nabi Muhammad bukan termasuk kebebasan berekspresi. Pengadilan HAM Eropa menyebut menghina nabi umat Islam itu sudah melampaui batas yang diizinkan oleh perdebatan obyektif.

Selain itu, hal tersebut juga bisa menimbulkan prasangka dan membawa risiko bagi perdamaian antar-agama.

Keputusan pengadilan ini dibuat setelah ada seorang wanita Austria yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pedofil. Alasannya adalah, karena Nabi Muhammad menikahi gadis enam tahun.

Wanita 40 tahun berinisial E.S itu menyampaikan pendapatnya dalam dua seminar pada 2009 lalu. E.S dengan lantang menyebut bahwa pernikahan Nabi Muhammad dengan gadis muda mirip dengan kasus pedofilia yang ada saat ini.

"Muhammad suka melakukannya dengan anak-anak. Seseorang berusia 56 tahun dengan anak berusia enam tahun, apa namanya itu jika bukan pedofilia?" katanya dalam seminar, dikutip dari Fox News, Sabtu (27/10).

Akibat ungkapan bernada penghinaan itu, Pengadilan Wina menjatuhkan hukuman kepadanya pada 2011 lalu sekaligus memerintahkannya membayar denda senilai USD 547 (Rp 8,3 juta). Putusan itu kembali dikukuhkan oleh pengadilan banding Austria.

Namun, E.S tidak terima dengan putusan tersebut dengan dalih apa yang diungkapkannya adalah kebebasan berekspresi dan seharusnya kelompok agama bisa menoleransi kritik. Dia pun berpendapat bahwa komentar tersebut dimaksudkan sebagai kontribusi dalam debat publik dan tidak dirancang untuk mencemarkan nama baik Muhammad.

E.S memutuskan untuk membawa kasus ini ke Pengadilan HAM Eropa yang kemudian ditolak.

"Keputusan Pengadilan Austria telah secara hati-hati menyeimbangkan antara haknya berkaitan dengan kebebasan berekspresi dengan hak orang lain untuk melindungi perasaannya dalam beragama," demikian putusan Pengadilan HAM Eropa.

"Keputusan Pengadilan Austria juga sudah selaras dengan tujuan yang sah dalam menjaga perdamaian agama," tambah putusan tersebut.

Selain itu, putusan pengadilan pun menyebut bahwa komentar perempuan tersebut tidak objektif, tidak menggambarkan latar belakang sejarah dengan benar, dan sama sekali tidak bertujuan untuk membangun debat publik yang sehat. (**H)


Sumber: Merdeka.com





Berita Terkait

Tulis Komentar