Syafruddin Minta Boediono dan Sri Mulyani Jelaskan Kasus BLBI

  • Kamis, 19 April 2018 - 00:19:06 WIB | Di Baca : 1941 Kali

SeRiau - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mengklaim kerugian negara sebesar Rp4,58 triliun dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim, bukan disebabkan oleh dirinya. 

Syafruddin menuding kerugian negara itu muncul lantaran Menteri Keuangan (Menkeu) pada 2007 melalui PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) menjual aset Sjamsul senilai Rp4,8 triliun menjadi hanya Rp220 miliar. 

Sjamsul merupakan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Menurut Syafruddin, Sjamsul telah menyerahkan asetnya kepada BPPN dan kemudian pihaknya menyerahkan ke Menkeu pada 2004.

"Kami menyampaikan fakta bahwa kami menyerahkan Menteri Keuangan tahun 2004 dan tahun 2007 dijual oleh Menteri Keuangan dan PT PPA, itu yang harusnya ditelusuri," kata Syafruddin usai menandatangani pelimpahan berkas, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/4). 

Pada 2004, Menkeu dijabat olehBoediono. Sementara itu pada 2007, posisi Menkeu diemban Sri Mulyani. 

Syafruddin mengatakan dirinya bukan dalam posisi melimpahkan kesalahan kepada pihak lain. Menurut tersangka korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul itu, dirinya hanya ingin mengungkap fakta yang sebenarnya. 

"Saya harus tegaskan, saya diperiksa untuk sesuatu yang saya tidak melakukan itu, penjualan itu tidak dilakukan oleh saya. Jadi tidak ada mau melimpahkan kesalahan pada siapapun, kami menyampaikan faktanya seperti itu," ujarnya. 

Sementara itu, kuasa hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra menilai KPK keliru melihat kewajiban Sjamsul senilai Rp4,8 triliun yang harus dibayar pada 2004 silam. Menurut dia, kewajiban Sjamsul sudah diserahkan kepada BPPN sehingga mendapat SKL BLBI, sebagai salah satu obligor ketika itu. 

"Jadi apa yang dilakukan itu sudah sesuai dengan perundang-perundangan yang berlaku sesuai dengan prosedur dan beliau juga sudah memutus sesaui dengan keputusan dari KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) sendiri," kata Yusril. 

Yusril mengatakan yang menjadi persoalan dan munculnya kerugian negara ketika aset Sjamsul senilai Rp4,8 triliun dijual oleh Menteri Keuangan pada 2007 hanya Rp220 miliar. Yusril menyebut Syafruddin sudah tak berwenang saat penjualan dilakukan lantaran BPPN sudah dibubarkan pada 2004.

"Di situ Rp4,8 triliun kok dijual Rp200 miliar, jadi kerugian negara. Lalu kenapa pak Syafrudin yang dituntut ke pengadilan Tipikor. Yang menjualkan Menteri Keuangan 2007 itu dan tugas BPPN kan sudah selesai," ujarnya. 

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu pun meminta Menteri Keuangan dan PT PPA menjelaskan penjualan aset Sjamsul yang merosot tajam dari Rp4,8 triliun hanya menjadi Rp220 miliar. Sehingga, menurut Yusril, pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul tidak bermasalah dan merugikan negara. 

"Potensi kerugian negara ini jelas bukan disebabkan oleh klien kami, tetapi Menteri Keuangan dan PT PPA wajib menjelaskan dan mempertanggungjawabkan kegiatan penjualan yang telah mereka lakukan," tuturnya.

KPK baru saja melengkapi berkas penyidikan Syafruddin. Dalam kasus ini, lembaga antirasuah itu menduga tindakan Syafruddin memberikan SKL kepada Sjamsul sebagai pemegang saham BDNI merugikan negara, lantaran taipan yang mendapat kucuran BLBI itu masih memiliki utang sebesar Rp4,8 triliun. 

Dalam hal ini, Sjamsul telah membayar kewajibannya dengan menyerahkan aset yang diklaim bernilai Rp4,8 triliun kepada BPPN. Aset Sjamsul yang diserahkan ke BPPN pada 2004 lalu itu berupa tambak petani udang PT Dipasena Citra Darmaja.

Namun, kenyataannya aset yang telah dijual pada 2007 silam itu hanya Rp220 miliar. KPK menduga tindakan Syafruddin memberikan SKL kepada Sjamsul berpotensi merugikan negara lantaran aset yang diserahkan Sjamsul hanya senilai Rp220 miliar, sehingga masih ada kekurangan bayar sekitar Rp4,58 triliun. 

Angka dugaan kerugian negara itu dapat KPK dari hasil audit investigasi yang dilakukan BPK pada September 2017 lalu.

Meskipun demikian, sebagai pihak yang diduga diuntungkan dalam kasus ini, KPK belum berhasil memeriksa Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim. Pasangan suami istri itu sudah menetap di Singapura sejak beberapa tahun silam.

Sumber CNN Indonesia
 





Berita Terkait

Tulis Komentar