MENU TUTUP
Cerpen

Si Putih Bermata Biru

Jumat, 19 Januari 2024 | 23:34:04 WIB | Di Baca : 248 Kali
Si Putih Bermata Biru

Siang menjelang sore suasana kota cukup basah, genangan air di jalanan memantulkan gedung-gedung tinggi. Matahari pun menutup diri di balik awan kelabu. Orang-orang hilir mudik dengan payung di tangan mereka. Semuanya sibuk menghindari rintik hujan. 

Di sisi lain kota, tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang di kunjungi orang-orang dengan sepatu mengkilap. Ada lelaki tua yang berteduh di bawah pohon, ia mengenakan jubah gelap lusuh. Kepalanya tertunduk lemah, sekujur badannya terlihat menggigil menahan udara dingin yang menusuk. Ia mengharapkan rasa iba dari orang-orang yang lewat, tapi mereka yang berlalu lalang seakan tidak peduli. Piring kecil yang ia letakkan di depan sana, terlihat kosong dan hanya di isi genangan air. 

"Saya berjanji Putih, akan ada orang baik yang membawamu ke sana. Uhuk, uhuk ... uhuk!" Ia merapatkan jubah lusuh itu ke tubuhnya. 

"Meow, meoww ... Hnggg meow." Mahkluk kecil itu menjawab kegelisahan si lelaki tua. 

Waktu berlalu begitu cepat, sang surya kembali ke peraduan. Sang Dewi malam menggantikan tahta mentari. Kegelapan menyelimuti kota. Lampu-lampu mulai dihidupkan, kehidupan malam di mulai di kota kecil ini. Kota yang tidak kenal kata istirahat, kota yang selalu ramai dengan kehidupan. Di sisi lain  ia menjadi kota yang membisu untuk kehidupan kalangan bawah. Gedung pencakar langit yang gemerlap seakan ingin menutupi sisi buruk ini.

Seratus meter dari lelaki tua itu, tepatnya di sebuah halte bus. Ada seorang gadis muda duduk termenung. Lampu halte yang redup dengan cat yang  pudar terkelupas menambah temaram suasana di sekitarnya. Kepalanya tertunduk lemah, bahunya terlihat gemetar. Terdengar isakan kecil menyayat hati. 

"Manusia mana lagi yang bisa kupercaya?"  
"Meow, meow ...." Dari bawah kolong tempat duduk halte, terdengar suara kucing. 

Gadis itu menghela nafas jengah, dengan gontai ia bangkit dari duduknya. Lalu berjongkok dan mencari sumber suara kucing tadi. 

"Ohh hei, kenapa kau di sini? Di mana pemilikmu?" 

Hewan kecil berbulu halus itu keluar dari persembunyiannya, kaki-kaki mungilnya berjalan mendekat ke gadis itu. Mata birunya seolah menyiratkan luka.
"Apa kau juga tidak punya tempat untuk pulang? Dunia memang tidak adil ya." ucapnya dengan senyum getir.

Lagi-lagi ia menghela nafas, pandangannya  jatuh pada langit malam. Beribu bintang bertebaran dengan indah. 
"Kata Mama, kalau kita tidak tinggal di dunia lagi kita akan tinggal di langit. Jadi bintang, Mama Papa jadi bintang yang mana ya." 

"Putih, kau di mana?"

Pandangan gadis itu teralihkan, lelaki tua di dekat pohon tadi berjalan tertatih-tatih. Gadis tadi hanya diam memperhatikan, tidak ada niat sedikitpun ingin menghampiri.

"Hei Nak, apa kau melihat kucing putih?" 
Tanpa bersuara gadis itu hanya menunjuk ke arah kolong tempat duduk. Melihat reaksi sang gadis, lelaki tua itu tersenyum.

"Apa kau kesepian Nak? Kau butuh teman?" Tanpa aba-aba lelaki tua tadi melontarkan pertanyaan yang membuat banyak lipatan di dahi sang gadis, ia keheranan. 

"Tidak perlu ikut campur urusanku!" 
"Tidak perlu berbohong, semuanya tergambar di wajah menyedihkanmu. Bawalah Si Putih bersamamu. Kau akan mendapatkan kebahagiaan."

"Si Putih?" Gadis itu mengalihkan pandangannya ke kolong kursi halte, hanya kucing itu satu-satunya mahkluk yang berwarna putih di sana.

"Apa maksudmu Pak Tu ... Aa?"

Ketika ia menolehkan kepalanya ke belakang, ia tidak menemukan keberadaan lelaki tua tadi. Kosong, hanya desir angin malam yang menusuk-nusuk kulit gadis itu.

"Pergi kemana dia? Uhh, kenapa tiba-tiba aku merinding."

"Meoww, meow ...." Kucing itu berjalan mendekat ke gadis itu, ia mengelus-elus kan kepalanya pada kaki sang gadis. 
"Hei Putih, malang benar nasibmu. Kau dibuang begitu saja, tidak ada bedanya denganku."

Gadis itu tersenyum getir, air menggenangi pelupuk matanya. Satu kedipan saja sudah cukup membuat aliran anak sungai kecil di wajah lelah itu. Ingatannya berputar ke waktu sebelum ia berakhir di halte ini. 
"Kau tahu, Tante sudah lelah mengurusmu. Seharusnya tahu diri! Selama dua bulan kau tinggal di sini sejak orangtuamu pergi, kau sangat merepotkanku!"

Lamunannya seketika buyar di saat Bus perhentian terakhir tiba, tanpa pikir panjang ia naik ke Bus itu. Dalam sekejap mata Bus itu hilang dari pandangan. Tidak meninggalkan jejak sedikit pun. Gadis itu lupa, Bus terakhir yang seharusnya ia naiki sudah pergi dari dua jam yang lalu. Tidak ada lagi Bus di waktu hampir tengah malam seperti ini.

"Sepertinya legenda malaikat penjemput itu benar."

Di sisi lain setelah gadis itu pergi menaiki Bus, halte tadi ramai oleh orang-orang. Suara sirine mobil polisi berdenging, tidak lama ambulan pun tiba. Ada seorang gadis yang terlihat mirip dengannya tergeletak di jalan. Cairan merah pekat sudah mengering di jalan beraspal itu. 
"Malang benar nasibnya, semoga dia bertemu dengan si pengemis tua. Jalannya ke akhirat berakhir damai." ucap seseorang. 

"Bukankah wujudnya perempuan tua?" Sela salah seorang di antara mereka. 
"Entahlah, wujudnya berubah-ubah. Dia memang suka menyamar. Apapun itu, seseorang yang berakhir tragis pasti bertemu dengannya."

 

Penulis: Zahra Alfaridzi
 


Berita Terkait +
TULIS KOMENTAR +
TERPOPULER +
1

SE Kadisdik Riau Tentang Larangan Perpisahan di Hotel Dinilai Forkom Waktunya Kurang Tepat

2
Ketua TKD: Ini Kemenangan Masyarakat

Prabowo & Gibran Ditetapkan Jadi Presiden Wakil Presiden Terpilih

3

PT Putra Kemasindo di Sidak  Komisi IV,  Di Warnai Adu Mulut

4

ARA Perkuat Eksistensi Pendidikan di Provinsi Riau

5

Jalan Simpang SKA Di Perlebar, Ginda: Kita Dukung Semoga Cepat Terlaksana