MENU TUTUP

Tak Kunjung Sembuh Pasca Operasi Usus Buntu, Korban Polisikan Dokter RSAB A Yani Atas Dugaan Malapraktik

Selasa, 18 Agustus 2020 | 11:16:10 WIB | Di Baca : 5071 Kali
Tak Kunjung Sembuh Pasca Operasi Usus Buntu, Korban Polisikan Dokter RSAB A Yani Atas Dugaan Malapraktik Dwi Fitriyani (tengah) didampingi kuasa hukumnya dari LBH Yayasan Pemuda Sahabat Hukum dan Perhimpunan Advokat Bersatu, Sabtu (15/8/2020).

SeRiau - Dwi Fitriani (52) wanita, janda anak tiga warga Pekanbaru ini diduga telah menjadi korban atas dugaan malapraktik operasi usus buntu yang dilakukan dr R yang bertugas di RSAB A Yani, Pekanbaru akhir 2018 lalu. Lantaran dianggap tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya, akhirnya korban mengambil langkah hukum dan melaporkan dr R ke Polda Riau.

Pada Desember 2018 lalu Dwi melakukan pemeriksaan kesehatan di RS Tabrani, dari hasil itu didiagnosa usus buntu. Ia pun dianjurkan untuk operasi, karena di rumah sakit tersebut tidak ada dokter bedah, pihak rumah sakit merujuknya ke RSUD Arifin Achmad.

"Di RSUD Arifin Achmad, saya juga diminta untuk segera melalukan operasi. Namun, karena tidak dipertemukan dengan dokter bedah sebelum operasi, saya menolak untuk operasi," ujar Dwi, Sabtu (15/8/2020).

Selang beberapa hari, Dwi kembali melalukan pemeriksaan di rumah sakit yang berbeda. Pemeriksaan dilakukan di RSAB A Yani pada pertengahan Desember 2018 lalu. Dari pemeriksaan itu, Ia juga didiagnosa usus buntu dan harus dilakukan operasi.

Di RSAB A Yani ini, ditetapkan dr R sebagai dokter bedah yang bertanggungjawab atas tindakan operasi tersebut. Setelah tiga hari menjalani rawat inap, Dwi disarankan pulang dan kembali lagi untuk mengambil tindakan operasi. Selang satu hari, Ia dioperasi oleh dr R.

Setelah operasi, lebih kurang dua minggu menjalani rawat inap, kondisi Dwi malah semakin memburuk. Perutnya membesar seperti orang hamil tujuh bulan dan mengeluarkan cairan.

"Dalam kondisi itu, dr R mengatakan bahwa kondisi Ibu semakin memburuk dan tidak ada perkembangan. Kemudian dr R mengusulkan untuk melalukan perawatan di RS Prima, Pekanbaru karena di sana memiliki dokter bedah disgetif (ahli bedah percernaan)," terang Dwi menirukan dokter R.

Kemudian dr R mengusulkan Dwi untuk pulang dan melanjutkan perawatan di RS Prima. Dengan alasan rumah sakit, BPJS tidak menanggung sepenuhnya biaya yang timbul, maka Dwi pun menerima untuk dipulangkan.

Setelah pulang dan istrirahat, Dwi kembali ke RSAB A Yani untuk dirawat inap. Di rumah sakit, dr R membuka perban atau bekas operasi usus buntu Dwi dengan mengeluarkan nanah yang bermuncratan dan cairan kekuningan. Saat itu juga, pihak keluarga Dwi mempertanyakan kenapa kain kassa pasca operasi tidak pernah diganti.

Namun, dr R ini kembali mengatakan bahwa kondisi Ibu Dwi tidak ada perkembangan, dan kembali meminta untuk dirujuk ke RS Prima. Dengan alasan, Dwi tidak memiliki perkembangan yang baik.

Dengan surat rujukan RSAB A Yani, Dwi kembali dirujuk ke RSUD Arifin Achmad. Namun karena tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan, keluarga Dwi berinisiatif melalukan pengobatan di RSAB Sudirman.

Kemudian kata Dwi, dokter di RSAB Sudirman mengatakan bahwa ususnya sudah bocor. Karena itu, operasi kedua terhadapnya dilakukan. Namun dalam operasi itu tidak ditemukan penyebab kebocoran.

Masih dalam perawatan dokter, Dwi kembali melakukan operasi dengan pengeluaran usus melalui anus. Dari operasi itu ditemukan bahwa usus Dwi telah sobek-sobek. Mengetahui kondisi itu, Ibu Dwi kembali melakukan operasi lanjutan ketiga, yaitu pengangkatan usus.

Pasca operasi ketiga hingga saat ini, Dwi mengaku tak kunjung mendapatkan kesembuhan. Bahkan, kedua tangannya mengalami cacat.

"Akibat operasi tangan saya jadi cacat, kebas, mati rasa, tidak bisa pegang apa-apa. Kena panas sedikit langsung melepuh. Bekas operasi ini kalau saya buka keluar cairan atau kotoran yang sebagian masih keluar lewat bekas operasi ini," ungkapnya.

Terkait keluhan itu, pada 21 Mei 2020 lalu pihaknya mengaku pernah disambangi oleh pihak RSAB A Yani. Dalam pertemuan itu,  Dwi disodorkan tiga rangkap surat bermaterai untuk ditandatangani Dwi.

"Saya disuruh cepat-cepat untuk tanpa diberi waktu untuk membaca isi surat tersebut. Akhirnya saya tanda tangan," ucapnya.

Bersamaan dengan itu, pihak rumah sakit memberikan uang tunai sebesar Rp50 juta kepada Dwi. Dengan alasan, uang tersebut sebagai jalinan kasih dari rumah sakit.

"Katanya itu uang (Rp50 juta) jalinan kasih. Tapi, ibu tak bisa banyak ngomong dengan keadaan seperti ini diluar. Kalau ibu cerita, akan berhadapan dengan pihak rumah sakit. Ini kan ancaman namanya," kata pihak rumah sakit, seraya Dwi menirukan.

Seiring proses pemulihan pasca operasi usus buntu, Dwi dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yayasan Pemuda Sahabat Hukum (YPSH) Firman Aritonang SH dan cs, turut membantu perkara ini ke jalur hukum Polda Riau.

"Langkah awal buat laporan pengaduan dugaan malapraktik yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit di Pekanbaru. Kita minta segera diusut laporan itu. Sekarang masih menunggu proses seperti apa di Polda Riau," kata Firman, Sabtu (15/8/2020) siang.

Firman mengaku, pihaknya sudah berupaya untuk konfirmasi ke pihak rumah sakit, namun seperti menemukan jalan buntu. Menurutnya, jawaban yang dilontarkan mereka sudah seperti di luar nalar akal sehat manusia. Bahkan, kondisi korban dijadikan faktor kegagalan operasi.

"Saat ditanya meraka bingung, malah manuduh balik klien kami yang salah. Karena kondisi korban lemah, ada penyakit lain. Kalau itu alasannya, kita sulit terima di akal sehat. Karena untuk dioperasi itu kan ada penalaran khusus dari medis sebelum dioperasi, layak atau tidak. Nah ini lah yang terjadi," terang Firman yang didampingi Sekjen YPSH, Dodi Mukti Yadi.

Sedangkan, kondisi proses operasi korban yang dilakukan pihak dokter rumah sakit, mereka mengatakan sudah sesuai prosedur. Faktanya kata Firman, setelah operasi korban banyak mengalami perubahan yang sangat drastis sekali.

"Menurut mereka itu sudah sesuai prosedur. Kita menilai ini belum selesai. Sesuai prosedurnya mereka ini, harus kita uji, karena kita tak ingin lagi adanya korban-korban berikutnya," tegas Firman. 

Lebih lanjut, kesalahan pihak Rumah Sakit Awal Bros Ahmad Yani ini, terkait perjanjian yang harus ditandatangani kliennya dan sewaktu adanya penyerahan jalinan kasih. Menurut Firman, sangat tertutup dan tidak transparan. 

"Kita menduga, ada ruang sempit atau ruang gelap untuk mengelabui klien kami. Membuat perjanjian tak transparan, juga saat pemberian jalinan kasih. Tiba-tiba suruh tandatangan surat tanpa harus diketahui lebih dulu sama klien kami," bebernya.

Terkait kasus tersebut, pihaknya akan terus mengawal perkara ini hingga ke meja persidangan. Sembari masih menunggu langkah proses tindak lanjut dari hasil laporan pengaduan ke Polda Riau. 

"Kita akan kawal kasus ini ke pengadilan. Tapi, seandainya di tengah jalan nanti, pihak rumah sakit mau bertanggungjawab pada klein kami, tak menutup kemungkinan perkara ini akan kita hentikan juga. Tentunya seperti apa niat mereka itu. Kita juga selalu membuka ruang," pungkasnya.

Sementara itu, Dedi Agusmar selaku Pengembangan dan Pemasaran RSAB A Yani mengaku akan mengecek ulang. "Saya lagi dinas di dumai, saya tiga bulan di dumai sampai bulan November. Aku cek dulu atas nama pasien (Dwi, red," kata Dedi melalui selularnya, Minggu (16/8/3020).

Saat diungkapkan nama pasien tersebut, Ia mengaku akan mengecek lagi data pasien tersebut. "Aku cek dulu lah datanya ya bang ya. Nanti aku koordinasikan sama yang di Pekanbaru," ucapnya.

Berdasarkan laporan kuasa hukum yang disampaikan ke Polda Riau tertanggal 10 Augustus lalu, dr R dilaporkan dengan dugaan malapraktik. Dalam kasus tersebut, dr R dikenakan Pasal 190 Ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, "Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengaikbatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar".

Kemudian Pasal 360 KUHP Ayat 1 "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama stau tahun",  dan Ayat 2 "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah". (**H)


Berita Terkait +
TULIS KOMENTAR +
TERPOPULER +
1

DPC PDI-P Rohil Buka Penjaringan Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

2

Negara Hadir, 85 KK Warga Dusun Terpencil di Pelalawan Riau Kini Nikmati Listrik PLN 24 Jam Jelang Idul Fitri 1445 H

3

Wujudkan Momen Manis Silahturahmi Dengan Berkendara #Cari Aman

4

Sambut Mudik 2024, PLN Tambah 5 SPKLU di Riau

5

Dirut PLN Lakukan Inspeksi SPKLU Jalur Mudik, Pastikan 1.299 Unit Se-Indonesia Siaga Layani Pengguna Mobil Listrik