DPP Wartawan Sawit Nusantara Kirim Surat Terbuka ke Presiden Terkait Pepres No 5 Tahun 2025

  • Jumat, 24 Januari 2025 - 18:45:59 WIB | Di Baca : 181 Kali

 

SeRiau - Pekanbaru - Dewan Pengurus Pusat (DPP) Wartawan Sawit Nusantara (WSN) kirim Surat Terbuka kepada Presiden Republik Indonesia (RI) terkait terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Ketua Umum DPP WSN Abdul Aziz mengatakan, surat terbuka Nomor: 003/KU-WSN/I/2025 itu dikirim ke Presiden karena dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan yang di teken pada 21 Januari 2025 tidak satupun pasal yang menyebutkan agar ditinjau kembali proses pengukuhan kawasan hutan

"Setelah kami baca Peraturan Presiden itu, kami terkejut karena dari 18 pasal yang ada pada Perpres itu tidak satupun pasal yang menyebutkan agar ditinjau kembali proses pengukuhan kawasan hutan," ujar Ketua Umum DPP WSN Abdul Aziz kepada wartawan, Jumat (24/1).

Akibatnya tambah Abdul Aziz, narasi seperti itu tidak ada, berarti, karena semua proses terkait pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh kehutanan sejak munculnya UU Cipta Kerja, telah dianggap benar.
"Bila semua proses itu telah dianggap benar, maka jutaan hektar lahan-lahan masyarakat yang terjebak di dalam kawasan hutan, telah divonis bersalah. Maka berarti pula, masyarakat harus menerima konsekwensi atas kesalahan itu," ucap Abdul Aziz.

Dijelaskan Abdul Aziz yang merupakan orang Riau itu, hingga tahun 2016, kawasan hutan di Riau masih berstatus penunjukan; SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau. Ini berarti, hingga di tahun itu, belum ada kawasan hutan yang definitif di Riau.

Berdasarkan aturan yang ada dan merujuk pada pasal 15 hingga pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan-dimana peraturan ini masih berlaku di masanya sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 terbit, semestinya, proses pengukuhan kawasan hutan yang baru berstatus penunjukan tadi, harus segera dilakukan setelah SK penunjukan kawasan hutan itu keluar.

"Agar kawasan hutan yang ditunjuk tadi, bisa optimal didapat tanpa harus bertambah banyak lagi kesepakatan yang dibuat dengan berbagai pihak yang berpotensi masuk dan mengelola lahan pada kawasan hutan yang telah ditunjuk," ungkapnya.

Untuk proses pengukuhan itu, khususnya pada proses penataan batas, tentunya harus melibatkan para pihak yang berpotensi bersempadan dengan kawasan hutan yang akan dikukuhkan, agar sempadan itu sah lantaran telah disepakati para pihak.

"Jadi berdasarkan aturan yang kami sebutkan di atas, batas-batas yang telah disepakati itu, harus dipasangi patok yang besaran, tinggi, dan jarak patok, telah diatur dalam berbagai aturan," ujar Aziz.

Jika pun pengukuhan telah selesai dilakukan tapi masih ada hak masyarakat di dalamnya, panitia tata batas wajib menyelesaikannya.

Tapi sayang, proses penataan batas seperti yang diminta oleh undang-undang dan ragam peraturan terkait kawasan hutan, tidak kunjung dilakukan. Hingga kemudian, persis setelah UU Cipta Kerja keluar, kehutanan tiba-tiba memasangi patok-patok batas kawasan hutan pada titik-titik yang dianggap menjadi batas kawasan hutan.

Dalam proses pemasangan patok itu, kehutanan tidak perduli apakah lahan itu sudah menjadi lahan milik atau kebun milik masyarakat maupun permukiman. Bahkan lahan-lahan yang telah bersertifikat serta kebun-kebun kelapa sawit masyarakat eks transmigrasi yang umur tanamannya telah akan menjalani peremajaan, juga dipasangi patok kawasan hutan. Walau masyarakat protes, semuanya dianggap angin lalu.

Jadi kata Abdul Aziz lagi, apakah menurut Bapak Presiden perbuatan kehutanan semacam itu tidak melanggar aturan. Apakah perbuatan semacam itu tidak merupakan klaim sepihak. Apakah oleh kelalaian atau kesengajaan kehutanan tidak segera melakukan penataan batas hingga pengukuhan kemudian semuanya menjadi kesalahan yang harus dilimpahkan kepada masyarakat.

Apalagi tambah Abdul Aziz di dalam Peraturan Presiden yang Bapak Presiden teken itu, pengertian kawasan hutan tetap sama seperti pada peraturan setelah Putusan MK 45 tahun 2011 keluar. Bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Kalaulah masyarakat kemudian melakukan pelanggaran atas kawasan hutan yang memang sudah ditetapkan sesuai aturan yang ada, tidak jadi masalah apabila masyarakat harus menerima konsekwensi atas pelanggaran yang dilakukan, berapapun luas tanah yang dikelola.

Akan tetapi, bila masyarakat itu harus menerima konsekwensi akibat kelalaian kehutanan dan kemudian masyarakat yang pada akhirnya dipaksa menjadi yang bersalah dan harus mengakui kesalahan yang tidak salah itu, sangat tidak adil.

"Bapak Presiden, kami adalah bagian dari masyarakat yang memilih Bapak. Kami sangat yakin bapak sangat arif dan sangat mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebelum Satgas yang Bapak bentuk turun ke lapangan, kami memohon, Bapak berkenan meninjau ulang dulu kebenaran proses pengukuhan kawasan hutan yang dibuat oleh kehutanan itu," ucap Aziz.

Sebab kata Aziz lagi, pihaknya tak bisa membayangkan seperti apa kondisi mental dan psikologis masyarakat begitu Satgas yang bapak utus mendatangi masyarakat yang tidak bersalah, kemudian meminta untuk membayar denda dan bahkan kemudian lahannya diambil.

"Kami yakin masyarakat akan ketakutan dan terpaksa, minimal, menyerahkan lahannya lantaran tidak mampu membayar denda yang nilainya besar," ungkap Abdul Aziz.

Di Riau, ada 1,9 juta hektar konsesi Hutan Tanaman Industri yang proses perizinan nya terindikasi sangat menyalahi dan kesalahan itu benar-benar disengaja. Kenapa, karena perizinan itu diberikan langsung oleh kehutanan pada kawasan hutan dengan tutupan hutan minimal 80 meter kubik per hektar.

Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menghitung, 17 ribu hektar saja hutan itu dibabat, duit yang dihasilkan mencapai Rp1,1 triliun. Bila kemudian 1,9 juta hektar hutan dengan kepadatan kayu minimal 80 meter kubik per hektar digunduli, berapa duit yang dihasilkan dari sana dan berapa biaya yang harus ada untuk memulihkan lahan seluas itu untuk menjadi hutan kembali.

Jika masyarakat yang tidak bersalah tetap harus menanggung konsekwensi atas kesalahan yang dilimpahkan, membayar denda berdasarkan salah satunya tegakan kayu yang konon ada di lahan saat pertama kali dibuka, kami memohon, Bapak juga memperlakukan hal yang sama kepada perizinan kehutanan yang sengaja menyalahi aturan itu, serta menghukum siapapun yang sengaja memberikan izin tadi hingga hutan Riau sedemikian cepat gundul.

"Sekali lagi, kami sangat yakin dan percaya, Bapak adalah sosok yang arif dan bijaksana memimpin negeri ini," ujar Abdul Aziz.(rls)





Berita Terkait

Tulis Komentar