Busyro Muqoddas Ibaratkan UU ITE Seperti Pelembagaan Buzzer

  • Ahad, 21 Februari 2021 - 06:13:42 WIB | Di Baca : 2912 Kali

SeRiau - Dosen dan praktisi hukum, Busyro Muqoddas menilai keberadaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat ini dapat menjadi salah satu alat represi negara.

Ia bahkan mengibaratkan beleid tersebut seperti melegitimasi tindakan buzzer atau para pendengung.

UU ITE yang kerap dipakai sebagai alat untuk melaporkan pihak yang melontarkan kritik pun mengingatkan Busyro pada apa yang terjadi di era Orde Baru kepemimpinan Soeharto.

"Dalam konteks orde baru dulu, itu orde baru memiliki jargon resmi kenegaraan yaitu ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Kedua-duanya ditujukan kepada kelompok yang kritis terhadap rezim yang otoriter, anti-HAM dan antidemokrasi," cerita Busyro dalam diskusi daring "Mimbar Bebas Represi" yang digelar secara daring via akun Youtube Amnesty International Indonesia, Sabtu (20/2).

"Yang menarik, saat Orde Baru itu diterapkan Undang-undang Subversif, warisan kolonial Belanda," imbuh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

Menurut Busyro, UU ITE memiliki ciri dan fungsi yang sama dengan Undang-undang Subversif yang menjadi alat represi saat Orde Baru. Keberadaan beleid aturan yang represif itu dapat membungkam daya kritis, demokrasi, hingga mengarahkan pada jerat hukum.

Oleh karena itu Busyro pun menilai ada kesamaan antara situasi Orde Baru dengan yang terjadi sekarang. "Orang menilai--termasuk saya, ini sudah bergerak ke neo-otoritarianisme, saya underline ini," kata dia.

Ia menjabarkan perndapatnya itu setidaknya didasari pada tiga indikator yang menunjukkan kemiripan kedua era tersebut.

Pertama, adalah kian masifnya para pendengung atau buzzer.

"Orang yang kritis lalu diserang dengan buzzer, dengan berbagai macam cara," tutur dia.

Kedua, maraknya teror mulai dari peretasan digital hingga ancaman terhadap aktivis kampus. Pertanda ketiga ialah penyalahgunaan penerapan UU ITE.

"UU ITE itu menurut hemat saya--dan ini pikiran saya yang merdeka saja dan bebas--Undang-undang ITE ini sesungguhnya memiliki karakter sebagai wujud pelembagaan buzzer. Jadi, buzzer yang dilegalkan, melalui UU ITE," ucap dia lagi.

Busyro menambahkan, sudah banyak korban akibat penyalahgunaan UU ITE, termasuk klien yang dia dampingi. Dalam kesempatan itu pun ia mempertanyakan peran penegak hukum dan arah utama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

"Polisi itu berada di mana? Polisi itu alat negara dan alat penegakan hukum, atau alat kekuasaan? Pertanyaan kedua, negara yang dipimpin oleh Presiden Jokowi itu maunya apa?" tukas Busyro.

"Jika maunya jujur dengan Pancasila maka tegakkan nilai-nilai dengan menjunjung demokrasi, menegakkan keadilan sosial, menegakkan prinsip musyawarah---berarti tidak ada dominasi kelompok-kelompok determinan dominan tertentu di dalam mempengaruhi kebijakan negara," sambung dia.

Dalam mimbar bebas tersebut, selain Busyro mereka yang berbicara juga di antaranya jurnalis, peneliti/akademisi, hingga warga biasa yang menjadi korban dari penerapan pasal karet dalam UU ITE seperti guru di NTB Baiq Nuril, dosen di Aceh Saiful Mahdi, dan jurnalis di Kalimantan Selatan Diananta P Sumedi.

Pada kesempatan lain, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), Ika Ningtyas membeberkan tantangan kebebasan berpendapat di era Jokowi bukan saja pada penyalahgunaan UU ITE melainkan juga keberadaan buzzer.

"Buzzer bisa bekerja secara lebih serius untuk melakukan serangan digital, bahkan melaporkan dengan UU ITE," kata Ika saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (17/2).

SAFEnet, lembaga nirlaba yang fokus pada kebebasan berekspresi tersebut mencatat sepanjang 2020 ada 84 kasus pemidanaan warganet. Sebanyak 64 di antaranya terjerat UU ITE dengan pelapor terbanyak berasal dari kalangan pejabat, aparat dan, pemodal.

Revisi UU ITE belakangan mengemuka usai Presiden Jokowi dalam pidatonya menyinggung soal rasa keadilan dalam penerapan beleid aturan tersebut. Menko Polhukam Mahfud Md membentuk dua tim untuk menindaklanjuti polemik pasal-pasal karet dalam UU ITE.

Tim pertama bertugas menyusun interpretasi teknis dan kriteria implementasi pasal-pasal yang dianggap karet dalam UU ITE. Sementara tim kedua mengkaji kemungkinan revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tersebut. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar