Uji Formil UU Ciptaker, Hakim MK Diminta Tak Takut PresidenPresidenm

  • Kamis, 12 November 2020 - 18:42:38 WIB | Di Baca : 1689 Kali

SeRiau - Tim kuasa hukum uji formil UU Cipta Kerja, Jovi Andrea Bachtiar meminta hakim Mahkamah Konstitusi tak takut melepaskan tanggung jawab moral politik kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hal tersebut disampaikan dalam sidang perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diselenggarakan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (12/11).

"Kami memohon majelis hakim konstitusi agar bisa melihat dan menilai permasalahan yang ada dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja secara objektif tanpa perlu merasa takut untuk melepaskan diri dari jeratan tanggung jawab moral politik kepada presiden," katanya dalam sidang.

Pernyataan tersebut mengacu pada kewenangan presiden yang dapat mengangkat dan menghentikan hakim konstitusional.

Ia bahkan turut menyinggung penghargaan Bintang Mahaputera kepada enam hakim konstitusi yang diberikan Presiden Joko Widodo.

Jovi meminta hal tersebut tidak mempengaruhi integritas dan independensi hakim dalam mempertimbangkan secara objektif permohonan yang pihaknya ajukan.

"Yang mulia hakim Mahkamah Konstitusi juga tidak perlu takut terhadap Dewan Perwakilan Rakyat untuk menilai secara objektif permasalahan yang ada dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja," lanjutnya.

Jovi mengatakan hal tersebut dengan berkaca pada tiga orang hakim MK yang dipilih oleh DPR pada tahun lalu.

Ia menilai hakim MK sesungguhnya punya tanggung jawab moral lebih besar kepada masyarakat Indonesia untuk memastikan kesejahteraan mereka terpenuhi.

Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Hakim Panel Arief Hidayat menanyakan apakah pernyataan tersebut ingin dimasukkan ke permohonan.

Pasalnya resume permohonan tidak menyebutkan pernyataan yang disampaikan oleh Jovi. Koordinator kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso Tandiasa pun menjawab hal tersebut tidak termasuk dalam permohonan.

"Dianggap tidak ada ya [pernyataan itu]. Anda prejudice itu berarti tidak boleh. Tapi kalau mau masuk permohonan silakan, enggak apa-apa," ujar Arief.

Ia menegaskan pernyataan yang berada di luar permohonan seharusnya tidak disampaikan di dalam sidang. Viktor pun berupaya mengklarifikasi ungkapan rekannya.

Ungkapan itu, katanya, merupakan kesalahan dirinya karena tidak mengingatkan di awal persidangan. Ia pun meminta maaf kepada ketiga hakim MK.

"Seperti kita tahu yang disampaikan adalah isu yang berkembang di luar persidangan. Jadi mungkin saudara Jovi terbawa suasana itu," katanya.

"Dan memang kesalahan saya mendekati sidang tadi saya tidak briefing hal-hal itu tidak perlu sampai masuk persidangan karena yang dibacakan materi muatan dalam permohonan," lanjutnya.

Permohonan uji formil ini diajukan oleh lima pemohon yang mengaku akan merugi jika UU Cipta Kerja diterapkan. Mereka adalah Hakiimi Irawan, Novita Widyana, Elin Dian, Alin Septiana dan Ali Sujito.

Hakiimi sedang mencari kerja dengan pengalamannya sebagai teknisi. Novita adalah pelajar SMK yang akan mencari kerja setelah lulus. Sedangkan Elin, Alin dan Ali merupakan peserta didik.

Pengujian formil ini menjadikan Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 22A , serta UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai batu uji.

Pemohon menilai proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf a, e, f, dan g UU No. 15 Tahun 2019.

Di mana keempat huruf tersebut mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundangan-undangan harus dilakukan berdasarkan asas kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar