Hakim ke Ahli: MK Tak Dilibatkan DPR Bahas UU Mahkamah Konstitusi

  • Rabu, 24 Juni 2020 - 21:49:31 WIB | Di Baca : 1991 Kali

SeRiau - Hakim Konstitusi Arief Hidayat berbicara mengenai revisi UU Mahkamah Konstitusi pada sidang uji materi UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Arief mengatakan MK tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi UU MK di DPR.

Arief bertanya pada ahli, apakah MK harus ikut dalam pembahasan revisi UU MK tersebut atau tidak. Pernyataan Arief itu disampaikan berkaca dari pertanyaan pemohon uji materi yang mempertanyakan mengapa revisi UU KPK justru tidak melibatkan instansi KPK.

"Yang terakhir kebetulan MK itu sekarang baru saja ramai akan ada revisi UU MK. masih ramai ini, tapi selama ini lembaga yang akan diatur atau UU yang mengatur mengenai MK yang akan diubah itu MK itu belum pernah diajak sama sekali," kata Arief, di MK, yang disiarkan di Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (24/6/2020).

"Malah kita di RPH kalau tidak salah mengatakan loh kok ini sudah ramai seperti itu kita harus bagaimana. Kita nggak pernah diibatkan, tadi ada pertanyaan dari pemohon mau merevisi kok lembaga yang mau mengatur itu nggak dilibatkan," sambungnya.

Arief menjelaskan sejak dulu saat dilakukan revisi Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), MK tak pernah dilibatkan walaupun sebagai pelaksana UU. Ia justru mempertanyakan ke ahli terkait apakah MK juga harus dilibatkan dalam proses revisi UU MK atau hanya KPK saja yang harus dilibatkan dalam pembahasan revisi undang-undangnya.

"Nah bagaimana sebaiknya menurut Prof Bagir Manan apakah betul harus dilibatkan atau tidak. Kalau harus dilibatkan misalnya MK nanti apakah berarti MK juga harus terlibat di dalam pembuatan UU itu. Apakah itu berbeda kalau KPK boleh ikut dilibatkan tapi MK nggak boleh dilibatkan?" tanya Arief.

Sementara itu, ahli hukum Bagir Manan menjawab secara undang-undang tidak ada keharusan KPK diajak dalam pembahasan revisi UU KPK, begitu pula MK yang tidak diajak dalam revisi UU MK. Sementara itu ada etika pihak yang berkepentingan dalam demokrasi sangat layak diajak dalam pembahasan.

"Bagaimana kalau KPK itu tidak diajak. Memang kalau kita bicara tentang bunyi UU tidak ada keharusan. MK tidak diajak memang benar itu," ujar Bagir.

Lebih lanjut Mantan Ketua Mahkamah Agung itu mengatakan publik menilai UU KPK yang lama cukup efektif dalam pemberantasan korupsi karena banyak contoh OTT yang kasusnya sampai ke pengadilan. Justru publik menilai UU KPK yang lama sudah jelas kemanfaatannya, dan mempertanyakan wewenang KPK dalam UU KPK yang baru.

"Tapi sesuatu hal yang mari tadi soal manfaat. Sudah jelas UU KPK yang ada itu sudah menunjukan manfaatnya sudah menunjukan kegunaannya kenapa harus diganti dengan sesuatu yang tidak pasti," ujarnya.

Justru Bagir menyoroti UU KPK yang tidak ditanda tangani presiden meskipun telah disetujui pada sidang paripurna antara DPR dan pemerintah. Ia mengatakan meskipun dapat secara otomatis berlaku setelah 30 hari usai diundangkan, tetapi prakteknya kepala negara selalu menandatangani undang-undang yang disepakati dengan DPR.

"Bahkan saudara saudara sekalian ada praktek etika bahwa secara hukum tadi disebut kepala negara boleh saja tidak mengesahkan secara hukum, tapi praktek dimana pun saja kepala negara itu selalu mengesahkan," kata Bagir.

"Kenapa? Karena kalau sudah disetujui DPR itu artinya suatu kehendak rakyat dan seorang kepala negara demokratis mengatakan dia mempunyai kewajiban atau senantiasa menjunjung tinggi kehendak rakyat," imbuhnya.

Sebelumnya ada tujuh perkara yang sama-sama menggugat revisi UU KPK, yakni perkara nomor 59/PUU-XII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, 77/PUU-XVII/2019 dan 79/PUU-XVII/2019.

Sementara yang dipersoalkan pemohon untuk uji formal antara lain anggota DPR yang hadir saat pengesahan tidak mencapai kuorum, tidak dilibatkannya KPK saat pembahasan dan UU tersebut diselundupkan karena tidak masuk Prolegnas 2019.

Selanjutnya untuk uji materi, hal yang dipersoalkan antara lain keberadaan dewan pengawas dan masuknya KPK dalam rumpun eksekutif. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar