Aktivis Kritik Proses Hukum Kasus Ganja Medis di Indonesia

  • Kamis, 11 Juni 2020 - 19:22:43 WIB | Di Baca : 2740 Kali

SeRiau - Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan mengkritik proses hukum terhadap Reyndhart Siahaan, terdakwa kasus pengguna ganja untuk keperluan medis. Proses hukum dalam kasus ini disebut telah mencederai hak atas kesehatan yang dijamin konstitusi dan undang-undang. 

Reyndhart saat ini tengah menunggu vonis PN Kupang setelah didakwa menggunakan ganja untuk mengobati gangguan saraf terjepit yang dideritanya sejak 2015.

"Pelarangan dan kriminalisasi penggunaan narkotika untuk kesehatan justru bertolak belakang dengan eksistensi narkotika itu sendiri," ujar Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Ma'ruf Bajammal dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Kamis (10/6).

Menurut Ma'ruf, Reyndhart tak semestinya dijerat UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Narkotika. Ma'ruf sendiri tak menampik bahwa UU Narkotika melarang penggunaan narkotika golongan I, termasuk ganja, sekalipun untuk keperluan medis.

Larangan tersebut tertuang dalam Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika. Namun, Ma'ruf mengingatkan maksud di balik (original intent) UU itu justru untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tertulis dalam poin tujuan dari UU Narkotika, Pasal 4 huruf a.

Ia pun mengingatkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan telah dijamin UU HAM nomor 39/1999 dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

Oleh karena itu, menurutnya, penghukuman terhadap masyarakat yang memanfaatkan narkotika untuk medis seperti Reyndhart, bertentangan dengan tujuan utama narkotika untuk kesehatan masyarakat.

Ia lantas mendorong pemerintah dapat mengembangkan pengetahuan melalui riset terkait hal itu. Dan meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia untuk membuka akses dan menjamin ketersediaan narkotika golongan I bagi pemenuhan hak atas kesehatan rakyat Indonesia.

"Sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan I guna pelayanan kesehatan," ujarnya.

Lebih lanjut, Ma'ruf menerangkan bahwa apa yang dilakukan Reyndhart dapat dikategorikan sebagai keadaan daya paksa berdasarkan Pasal 48 KUHP. Di situ disebutkan, bahwa "barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana".

Lanjutnya, keadaan sakit yang diderita Reynhardt dan pengobatan menggunakan ganja yang dia lakukan adalah kondisi yang dibutuhkan dan tidak dapat dihindarkan.

Ia, oleh karenanya, berharap majelis hakim yang mengadili perkara Reynhardt dengan mengedepankan prinsip hak atas kesehatan dan mengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum.

"Sehingga sudah tepat dan sangat adil apabila Majelis Hakim bersedia untuk membebaskan Reyndhart Siahaan dari segala dakwaan, sebab ganja yang ia miliki dan gunakan dipakai untuk kepentingan medis," paparnya.

Senada, Koordinator Advokasi dan Kampanye Aksi Keadilan Indonesia (AKSI) Yohan Misero menilai kasus yang dialami Reyndhart sepatutnya memberi inspirasi bagi Parlemen untuk segera mereformasi kebijakan narkotika Indonesia dalam rangka memberi ruang pada pemanfaatan narkotika untuk kepentingan medis, terkhusus ganja.

Pemerintah juga dapat membuat inisiatif untuk memulai penelitian tentang ganja medis dan bahkan membuat kebijakan untuk tidak menjerat pidana orang-orang yang memakai narkotika, termasuk untuk tujuan medis.

"Penghilangan intervensi pidana ini penting agar stigma pada pemakai narkotika tidak langgeng dan negara juga bisa mendapatkan lebih banyak data terkait pemakaian narkotika di masyarakat," kata Yohan.

Untuk persoalan ganja, Indonesia sepatutnya segera mengejar negara-negara tetangga yang sudah memiliki skema pemanfaatan ganja untuk medis, seperti Thailand dan Korea Selatan.

"Malaysia bahkan sudah amat intens mendiskusikannya di antara parlemen, pemerintah, dokter-dokter, dan masyarakat sipil. Mau sejauh apa Indonesia ketinggalan?" katanya.

Reyndhart ditangkap pada 17 November 2019 lalu oleh anggota kepolisian daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah diduga menggunakan narkoba jenis ganja untuk mengobati penyakitnya.

Warga asli Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur itu ditangkap di indekosnya Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTB. Dalam penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa paket ganja seberat 428,26 gram yang diterima dari jasa pengiriman logistik.

Selain itu, polisi juga menemukan paket ganja seberat 2,528 gram di saku celana Reyndhart. Pria 37 tahun itu kemudian dinyatakan positif mengonsumsi ganja berdasarkan tes urine dan uji laboratorium di BPOM Kupang.

Kini, Reyndhart masih mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II Kupang. Ia menunggu sidang putusan yang akan digelar pada Kamis.

Bukan Kasus Pertama

Penangkapan dan dakwaan terhadap warga yang memanfaatkan narkotika jenis ganja untuk medis bukan kali pertama. Kasus serupa juga pernah terjadi pada Fidelis Arie pada 2017.

Fidelis ditangkap usai memanfaatkan ganja untuk mengobati penyakit yang diderita istrinya Yeni Riawati, yang memiliki penyakit Syringomyelia.

Keputusan Fidelis untuk memanfaatkan ganja untuk mengobati penyakit istrinya, setelah sejumlah cara pengobatan lain, baik konvensional dan alternatif tidak membuahkan hasil.

Fidelis diseret ke pengadilan dan divonis penjara oleh PN Sanggau, Kalimantan Barat. Selama menjalani proses hukum, kondisi Yeni, istri Fidelis terus merosot hingga akhirnya meninggal dunia.

"Belajar dari kasus Fidelis dan Reynhardt, sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan I guna pelayanan kesehatan," kata Ma'ruf dari Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan. (**H)


Sumber: CNN Indonesia 





Berita Terkait

Tulis Komentar