Ini Sebabnya Penerbangan Global Belum Pulih dalam Waktu Dekat

  • Ahad, 07 Juni 2020 - 11:42:30 WIB | Di Baca : 2367 Kali

 


SeRiau - Empat orang yang bepergian dengan pesawat baru-baru ini diwawancarai Al Jazeera. Mereka mengatakan penerbangan pada era new normal, tidak nyaman. Yang lain mengatakan seperti armagedon. Lalu seorang lainnya menyatakan seperti tercekik karena 12 jam bermasker, dan yang terakhir menyarankan jangan bepergian kecuali benar-benar harus.

Empat penumpang pesawat menggambarkan rasanya bepergian dengan pesawat selama masa pandemi. Berbagai langkah telah diterapkan maskapai dan pengelola bandara, untuk mencegah penyebaran virus corona terhadap penumpang dan awak pesawat. Namun, dampaknya perjalanan dengan pesawat menjadi menegangkan, tak seperti sebelum pandemi.

Misalnya, di Thailand, para pelancong harus menjalani pemeriksaan suhu sebelum mereka dapat memasuki bandara. Di banyak terminal keberangkatan Amerika Serikat, kursi diblokir untuk menegakkan jarak fisik. Pengelola juga membuat tanda-tanda di lantai, untuk memberitahu penumpang agar berdiri terpisah sejauh 1,5 meter.

Di dalam bandara, pengumuman kepada publik terus diulang, agar tetap mengenakan masker dan sering membersihkan tangan. Sementara di udara, awak kabin pun tampil tak biasa. Misalnya Qatar Airways, awak kabinnya mengenakan pakaian pelindung lengkap, termasuk kacamata, topeng, dan jas hazmat.

Lalu di Maladewa, sebagian besar kedatangan dibawa ke hotel-hotel mewah selama 14 hari karantina wajib. Dan di Korea Selatan, semua penumpang yang masuk diharuskan menjalani tes Covid-19. Para turis diharuskan mengunduh aplikasi seluler, yang dapat melacak pergerakan mereka dan meminta catatan suhu tubuh setiap hari.

Industri penerbangan sipil memang sangat terpukul. Sebagian mereka meminta bantuan pemerintah. Langkah lainnya, adalah melobi pemerintah agar mengizinkan pesawat-pesawat yang di-grounded, agar terbang lagi. Pasalnya bisnis penerbangan sipil lumpuh, dana talangan dari pemerintah pun belum tentu bisa cair, yang meningkatkan risiko kebangkrutan maskapai penerbangan.

Bisnis penerbangan mengalami kesulitan. Pasalnya, jarak fisik yang merupakan pertahanan terbaik melawan virus, ternyata tak membuat maskapai memperoleh keuntungan.

Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan jarak fisik hanya memungkinkan pesawat mengangkut 62 persen dari kapasitas mereka. Tetapi untuk penerbangan yang menghasilkan uang, pesawat membutuhkan setidaknya 77 persen kursi terisi, menurut IATA kepada Al Jazeera.

"Jarak sosial dengan pesawat tidak praktis," kata Chief Executive Officer Qantas Alan Joyce kepada wartawan pada 19 Mei. Menurutnya, langkah seperti itu bisa berarti hanya akan ada 22 orang di dalam pesawat dengan 128 kursi, "Itu berarti harga tiket pesawat akan menjadi delapan hingga sembilan kali lebih mahal daripada hari ini," ujarnya.

IATA dan badan industri lainnya mengatakan langkah-langkah keamanan seperti sistem penyaringan udara selevel rumah sakit di dalam pesawat, membuat jarak fisik alami penerbangan tidak diperlukan.

Namun Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) berjeras. Mereka menerbitkan seperangkat pedoman, salah merekomendasikan jarak fisik selama perjalanan penumpang udara.
"Kursi harus ditugaskan untuk jarak fisik yang memadai antara penumpang," kata badan PBB. 

Bila maskapai enggan melakukan langkah tersebut, menurut ICAO, maskapai penerbangan harus mengadopsi langkah-langkah antisipasi berbasis risiko yang memadai.

ICAO, dalam konsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan badan-badan industri, mengatakan pihaknya mengusulkan pendekatan "berlapis", termasuk pemakaian masker dan sering membersihkan tangan selama penerbangan, opsi layanan mandiri untuk check-in, jarak fisik selama antrian bandara, makanan siap saji dalam pesawat, prosedur otomatis untuk bea cukai dan kontrol perbatasan, dan deklarasi kesehatan, tes COVID-19 dan pelacakan kontak yang kuat untuk mengurangi risiko infeksi impor.

Masih harus dilihat bagaimana maskapai penerbangan bereaksi terhadap aturan ICAO tersebut, mengenai jarak fisik. Namun untuk jangka pendek, setidaknya, beberapa maskapai mengurangi jumlah penumpangnya.

Maskapai penerbangan AS Delta Airlines mengatakan akan membatasi kapasitas tempat duduk kelas satu 50 persen dan kabin utama 60 persen sampai 30 Juni, untuk meningkatkan persepsi keselamatan konsumen. CEO Southwest Airlines, Gary Kelly, mengatakan kepada pemegang saham pada Mei bahwa Southwest akan membatasi pemesanan pada penerbangannya, setidaknya Juli untuk memberikan ruang penumpang di antara kursi.

Bukan hanya maskapai penerbangan yang menemukan langkah-langkah jarak fisik yang menantang, tetapi bandara juga, kata Cheng-Lung Wu, associate professor dalam penerbangan di University of New South Wales, Australia.

"Jika Anda mengharuskan semua orang menjaga jarak sosial saat naik pesawat, maka Anda bisa membayangkan - untuk pesawat besar, Anda akan memiliki garis antrean yang sangat panjang. Sebagian besar bandara tidak memiliki ruang untuk mengakomodasi itu," katanya.

Namun, bandara mungkin dapat mengatasi dalam jangka pendek karena perjalanan udara diperkirakan akan berjalan sangat lambat. IATA mengatakan mereka mengharapkan lalu lintas penumpang udara untuk kembali ke tingkat sebelum krisis hanya pada tahun 2023.

Lamanya waktu memasuki pesawat, diulas Aljazeera dengan mewawancari seorang wanita yang melakukan perjalanan evakuasi dari Quito, Ekuador ke Miami, AS pada 1 Mei. Dia dan suaminya membutuhkan waktu tiga jam untuk menyelesaikan prosedur naik pesawat di bandara yang sebagian besar kosong.

"Semuanya butuh waktu lebih lama karena pejabat bandara tidak mengizinkan orang untuk berkumpul," kata Nejla Calvo, seorang pengacara berusia 29 tahun. 120 penumpang diproses dalam 10 kelompok, Calvo mengatakan kepada Al Jazeera. "Jadi butuh lebih banyak waktu untuk check-in dan keamanan."

Soal Karantina Penumpang
Langkah-langkah lain yang mengganggu industri penerbangan adalah persyaratan oleh beberapa pemerintah bagi semua wisatawan internasional, untuk menjalani periode karantina wajib selama 14 hari.

Inggris, yang tidak menetapkan aturan seperti itu selama hari-hari awal wabahnya, berencana untuk mengkarantina kedatangan wisatawan mulai 8 Juni. Langkah itu mendorong Prancis untuk menetapkan isolasi wajib bagi pelancong Inggris juga.

Michael O'Leary, CEO Ryanair, mengatakan kepada BBC pada bulan Mei bahwa rencana karantina itu "bodoh" dan "tidak masuk akal".

Para pejabat mengatakan langkah seperti itu akan mematikan permintaan untuk perjalanan udara. Menurut survei IATA pada bulan April, 84 persen pelancong melihat tindakan karantina sebagai salah satu perhatian utama mereka. Sebanyak 64 persen responden mengatakan mereka tidak akan bepergian dalam kondisi seperti itu.

"Tidak mungkin bagi siapa pun untuk pergi ke suatu tempat dan dikenai karantina selama 14 hari," kata Subhas Menon, direktur jenderal Asosiasi Maskapai Penerbangan Asia Pasifik. "Itu tidak masuk akal. Itu juga dapat meningkatkan biaya perjalanan karena para pelancong mungkin diharapkan untuk mendanai biaya karantina diri."

Bisa disimpulkan perjalanan udara internasional, sedang dilanda ketidakpastian. Antara pemerintah, pengelola bandara, asosiasi penerbangan sipil, dan maskapai belum memiliki titik temu. 

 

 


Sumber TEMPO.CO





Berita Terkait

Tulis Komentar