KSPI Sebut Omnibus Law Hanya Akomodir Kepentingan Pengusaha

  • Ahad, 26 Januari 2020 - 19:23:12 WIB | Di Baca : 1333 Kali

SeRiau - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai pemerintah terkesan tertutup dalam menyusun Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan kerja.

Dia merasa aspirasi dari para buruh tak didengar pemerintah dalam menyusun aturan tersebut. Terutama terkait ketenagakerjaan.

“Setiap pembahasan hukum harus terbuka melibatkan semua pemangku kepentingan, proses omnibus law ini tidak dilalaui, dengan demikian ini tertutup, penuh dengan rekayasa,” ujar Said dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (26/1/2020).

Selain itu, Said juga menilai Omnibus Law ini dibentuk hanya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha saja.

“Ini hanya mementingkan kepentingan sekelompok orang saja dalam hal ini kawan-kawan pengusaha,” kata Said.

Said mencontohkan, dalam merumuskan omnibus law cipta lapangan kerja pemerintah telah membuat satuan tugas (Satgas). Namun, Satgas tersebut didominasi oleh para pengusaha.

“Menko Perekonomian membentuk satgas omnibus law yang diketuai oleh Ketum Kadin, anggotanya 22 asosiasi pengusaha, para gubernur yang kami dengan juga tidak terlibat secara aktif dan juga para rektor,” ucap dia.

Atas dasar itu, Said menegaskan KSPI menolak dibentuknya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini.

Sebelumnya, Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja disebut telah beredar ke publik. Sejumlah pasal di dalam draf tersebut pun menuai polemik.

Salah satunya yaitu rencana penerapan skema upah per jam. Seperti diketahui, sistem pengupahan yang berlaku saat ini adalah upah minimum, bukan upah per jam.

Ada enam hal yang menjadi dasar penolakan buruh terhadap RUU tersebut. Selain persoalan pengupahan, ada pula wacana penghapusan pesangon dan diganti dengan tunjangan PHK yang jumlahnya jauh lebih kecil.

Kemudian, kekhawatiran banjirnya tenaga kerja asing yang tidak memiliki keterampilan, hilangnya sanksi bagi perusahaan yang membayar upah pekerja di bawah upah minimum, hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun, hingga sistem outsourching yang lebih bebas. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar