KPK soal Hukuman Koruptor Dipotong MA: Ini Tidak Menggembirakan

  • Selasa, 17 Desember 2019 - 22:32:01 WIB | Di Baca : 1020 Kali

SeRiau - Fenomena pengurangan hukuman pelaku korupsi oleh Mahkamah Agung (MA) baik di tingkat kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK), mendapatkan perhatian khusus dari KPK.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengaku tengah membahas khusus mengenai fenomena pengurangan hukuman oleh MA. Ia mengaku tidak mengetahui penyebab pengurangan hukuman oleh MA.

"Kasus-kasus KPK itu korupsi, akhir-akhir ini paling banyak di korting putusannya. Saya enggak tahu ini fenomena apa, tapi ini fenomena yang tidak menggembirakan," kata Syarif di kantornya, Kuningan, Jakarta, Selasa (17/12).

Salah satu kasus yang menjadi perhatian Syarif ialah kasus PK yang diajukan eks anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi. Sanusi merupakan terpidana kasus suap pembahasan Raperda terkait reklamasi Teluk Jakarta dan pencucian uang. 

Majelis hakim PK memotong hukuman penjara Sanusi selama 3 tahun. Sehingga hukuman adik Wakil Ketua DPRD DKI M Taufik itu menjadi 7 tahun penjara.

Selain itu, Syarif menyebutkan ada pengembalian harta Sanusi. Padahal, harta itu telah dirampas oleh negara.

"Itu sudah dieksekusi, di-PK-nya bahwa dikembalikan, kasus Sanusi. Itu padahal hartanya sudah dirampas oleh negara, dan itu dikembalikan lagi," ucapnya.

Syarif mengaku heran dengan putusan MA akhir-akhir ini. Ia pun meminta penjelasan kepada MA terkait pengurangan hukum tersebut sebab putusan MA juga menjadi sorotan publik.

"Saya terus terang memberikan catatan khusus yang harus diresponsnya oleh Mahkamah Agung," tegasnya.

Sejumlah terpidana koruptor berhak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT), kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). 

Vonis yang diberikan MA bisa memperberat hukuman namun tidak sedikit malah meringankan koruptor. Sejauh ini ada tujuh koruptor yang dipotong hukumannya oleh MA.

Mulai dari Idrus Marham, Irman Gusman, Patrialis Akbar, Choel Mallarangeng, M. Sanusi, OC Kaligis hingga Angelina Sondakh.

Sorotan atas putusan MA juga disampaikan oleh ICW. Peneliti ICW Kurnia mengatakan publik telah menilai lembaga peradilan kerap tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi.

Hal itu berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober 2018. Hasilnya, MA mendapatkan kurang dari 70% dari sisi kepercayaan publik.

Menurut dia, setidaknya ada 2 data yang dapat dijadikan acuan untuk sampai pada kesimpulan tersebut.

Pertama, vonis ringan memang sudah menjadi tren di MA. Catatan ICW sepanjang tahun 2018, rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Kedua, untuk tingkat Peninjauan Kembali (PK) pun sama, sejak tahun 2007 sampai 2018 setidaknya 101 narapidana korupsi telah dibebaskan oleh MA.

Tidak hanya itu, tahun 2019 saja setidaknya ada 2 putusan kontroversial dari lembaga peradilan terhadap terdakwa kasus korupsi. Pertama, vonis lepas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung di kasus BLBI, pada tingkat kasasi.

Kedua, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, eks Dirut PLN Sofyan Basir, pada persidangan tingkat pertama.

Kurnia juga sampai tuntutan ICW kepada MA, yaitu agar Ketua Mahkamah Agung selektif dalam menentukan komposisi majelis yang akan menyidangkan setiap kasus korupsi, baik tingkat kasasi maupun PK.

Lalu, meminta Majelis Hakim di Mahkamah Agung harus menolak seluruh permohonan Peninjauan Kembali dari para terpidana kasus korupsi.

"Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial mengawasi proses jalannya persidangan di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali," kata Kurnia dalam keterangannya. (**H)


Sumber: kumparan.com





Berita Terkait

Tulis Komentar