1 Tersangka Penggerudukan Asrama Mahasiswa Papua adalah ASN

  • Senin, 02 September 2019 - 22:22:11 WIB | Di Baca : 1168 Kali

SeRiau - Mapolda Jatim telah menetapkan SA sebagai tersangka ujaran rasial dan penyebaran hoaks dalam insiden penggerudukan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya pada 16 Agustus 2019.

SA disebut-sebut sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di jajaran Badan Penanggulangan Bencana dan Perlindungan Masyarakat (BPB Linmas) Kecamatan Tambaksari, Surabaya. Kepala BPB dan Linmas Surabaya, Eddy Christijanto, tak menampik informasi soal anak buahnya itu.

"Iya benar (ASN BPB Linmas), tapi saya lupa namanya. Celukane (panggilannya) Saiful, staf kecamatan," terang Eddy saat dihubungi, Senin (2/9).

Eddy memastikan, anak buahnya itu bakal memenuhi panggilan Mapolda Jatim untuk memberikan keterangan terkait kasus tersebut. 

"Hari ini atau besok ya dipanggil, saya belum klarifikasi ke yang bersangkutan. Surat panggilan itu datanya sudah ada di Pak Camat (Tambaksari)," jelasnya. 

Sementara ditanya terkait bantuan hukum, Eddy mengaku belum mengetahuinya, sebab pihaknya tengah mengikuti proses hukum yang berjalan. Eddy juga telah menyampaikan perkara tersebut kepada Pemkot Surabaya. 

"Katanya kan ada bukti video, kita belum tahu videonya seperti apa. Saya belum tahu (ada pendampingan hukum atau tidak). Tapi saya sudah laporkan ke Pak Fikser (Kabag Humas Pemkot Surabaya), nanti Pak Fikser yang melaporkan pada Ibu (Wali Kota Surabaya)," jelasnya.

Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan Luki menyebut, SA ditetapkan menjadi tersangka lantaran dinilai melakukan ujaran rasial kepada mahasiwa Papua saat beradai di depan Asrama Mahasiswa Papua. Penetapan itu usai eks anggota FKPPI Tri Susanti ditetapkan sebagai tersangka terlebih dulu.

“Masih dua dan akan berkembang. Mereka jadi tersangka berdasarkan UU 40 2008, tentang diskriminasi,” jelas Luki, Jumat (30/8)

Berdasarakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis, tersangka SA terancam dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. (**H)


Sumber: kumparan.com





Berita Terkait

Tulis Komentar