Penerimaan Pajak Lesu, Risiko Utang Pemerintah Berpotensi Meningkat

  • Ahad, 28 April 2019 - 19:36:06 WIB | Di Baca : 1302 Kali

SeRiau - Hingga akhir kuartal-I 2019, Kementerian Keuangan mencatat total nilai utang (outstanding) pemerintah pusat mencapai Rp 4.567,31 triliun. Posisi utang pemerintah tersebut tumbuh 10,4 persen dibandingkan posisi Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136,39 triliun.

Di periode yang sama, pendapatan pajakdalam negeri hanya tumbuh 1,8 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 248,98 triliun. Padahal, periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan pajak dalam negeri mencapai 9,9 persen yoy.

Jika kondisi ini terus berlanjut, ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail khawatir risiko utang pemerintah akan meningkat. Apalagi di luar utang pemerintah, sejatinya masih terdapat utang badan usaha milik negara (BUMN), perusahaan yang menjadi milik pemerintah sepenuhnya, maupun utang perusahaan lainnya yang dijamin oleh pemerintah.

"Posisi utang pemerintah memang masih relatif rendah dengan rasio sekitar 30 persen terhadap PDB. Tapi, ini belum termasuk bebanutang BUMN yang sebenarnya juga makin tinggi," kata Mikail, Minggu (28/4/2019).

Nilai utang yang makin meningkat, tak disertai dengan penerimaan yang bertambah juga. Di sisi lain, pemerintah mesti mempertahankan bahkan menambah belanja untuk menjaga denyut perekonomian di tengah prospek pertumbuhan ekonomi global yang rendah.

Kemkeu melaporkan belanja negara per akhir Maret lalu mencapai Rp 452,1 triliun atau setara 18,37 persen dari pagu APBN 2019 yakni sebesar Rp 2.461,11 triliun.

Secara tahunan, belanja negara sepanjang kuartal-I 2019 tumbuh 7,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan belanja negara ditopang oleh serapan belanja pemerintah pusat sebesar Rp 260,7 triliun atau tumbuh 11,4 persen (yoy).

"Belanja semakin besar tapi tidak diimbangi penerimaan, pemerintah mau tak mau akan menarik utang baru," jelas Mikail.

Selain meningkatkan risiko utang, kondisi ini juga dikhawatirkan menjadi sorotan lembaga pemeringkat seperti Moody's atau S&P yang cenderung konservatif. Besarnya tingkat utang pemerintah dan BUMN serta potensi penerimaan yang menurun bisa menjadi faktor pertimbangan kedua lembaga tersebut.

"Khawatirnya, S&P maupun Moody's akan memasukkan faktor utang BUMN ke dalam penghitungan sovereign rating kita dan menjadi menambah risiko," tandasnya. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar