Golkar Bisa Dijerat KPK Jadi Tersangka Jika Terima Suap PLTU

  • Senin, 03 September 2018 - 19:56:45 WIB | Di Baca : 1159 Kali

SeRiau - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan Partai Golkar bisa dijerat menjadi tersangka korupsi bila terbukti ikut menerima uang dalam kasus dugaan suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama proyek pembangunan PLTU Riau-1.

Penetapan Golkar yang merupakan sebuah organisasi berbadan hukum bisa dilakukan merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. 

"Kalau itu bisa kita buktikan itu bisa, tapi sampai sekarang belum," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (3/9).

Dalam kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, diduga ada uang suap yang diterima mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih mengalir ke Golkar saat menggelar acara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada pertengahan Desember 2017. 

Eni mengaku sebagian uang Rp2 miliar yang diterima dirinya dari pemegang saham Blackgold Natural Recourses Limited Johannes B Kotjo, digunakan untuk keperluan Munaslub Golkar.

Basaria melanjutkan pihaknya masih terus mengumpulkan sejumlah bukti terkait dengan pengakuan Eni soal aliran uang ke Munaslub Golkar itu. Menurut dia, pihaknya juga masih membahas soal kemungkinan menjerat Golkar sebagai tersangka korupsi korporasi. 

"Sampe sekarang belum ada pembuktian itu dipakai atau tidak. Itu masih dalam pengembangan," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengaku masih terjadi perdebatan untuk menjerat sebuah organisasi di luar korporasi menjadi tersangka korupsi. Menurutnya, muncul pertanyaan apakah penetapan tersangka korupsi berlaku pada organisasi publik, seperti partai politik. 

"Itu belum semuanya sama persepsinya, oleh karena itu KPK harus mengkaji lebih dalam lagi," kata Syarif beberapa hari lalu.

Syarif mengatakan KPK harus mempelajari lebih lanjut dan mengundang sejumlah pakar hukum terkait penggunaan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, terhadap partai politik. 

"Berdiskusi apakah tanggung jawab pidana korporasi bisa juga dikenakan terhadap partai politik," tuturnya. 

Sebelumnya, Eni mengakui sebagian uang yang dirinya terima dari Kotjo digunakan untuk keperluan Munaslub Golkar. Namun, Eni tak menyebut secara pasti jumlah uang suap yang masuk ke kegiatan partai berlambang pohon beringin itu. 

"Yang pasti tadi memang ada yang mungkin saya terima Rp2 miliar itu sebagian memang saya inikan, gunakan untuk munaslub," kata Eni usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Senin (27/8).

Eni juga mengaku diperintahkan oleh ketua umum Golkar untuk mengawal proyek pembangkit listrik milik PT PLN itu. Namun, Eni tak menyebut siapa ketua umum Golkar yang memerintahkan untuk mengawal proyek PLTU Riau-1 itu. Ia mengaku hanya menjalankan tugas partai. 

Dalam kasus ini, Eni diduga bersama-sama Idrus menerima hadiah atau janji dari Kotjo. Eni diduga menerima uang sebesar Rp6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap.

Penyerahan uang kepada Eni tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian Rp4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. 

Uang itu adalah jatah Eni untuk memuluskan perusahaan Kotjo menggarap proyek senilai US$900 juta. Namun, proyek tersebut dihentikan sementara setelah mencuatnya kasus dugaan suap ini. 

Namun, keterangan Eni dibantah Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Menteri Perindustrian itu mengatakan tak ada aliran uang dari Eni terkait proyek PLTU Riau-1 ke gelaran Munaslub Golkar pada Desember 2017 lalu. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar