Menko Darmin Sebut Rupiah dalam Bahaya jika Tembus 20.000 per Dolar AS

  • Ahad, 22 Juli 2018 - 16:52:17 WIB | Di Baca : 1253 Kali

SeRiau - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi saat ini terjadi bukan merupakan sinyal bahaya.

"Jangan menganggap kurs itu kalau masih perubahan Rp 50 hingga Rp 100 rupiah itu bahaya, gak ada bahayanya di situ," kata dia di kantornya, Minggu (22/7/2018).

Menko Darmin menyebut bahwa China malah sengaja membuat mata uangnya terdepresiasi atau melemah terhadap Dolar Amerika. "China sengaja dia melemahkan mata uangnya," ujarnya.

Dalam pandangan Darmin, selama ini masyarakat belum terlalu memahami persoalan nilai tukar sehingga ketika Rupiah terus melemah dianggap merupakan suatu hal yang membahayakan.

Menurutnya nilai tukar Rupiah masih akan baik-baik saja saat ini. Katanya, tidak baik jika Rupiah tembus level 20.000.

"Nah kita, memang masyarakat kita banyak sekali yang sebetulnya tidak melek urusan begini-begini ini. Tidak berarti gak apa-apa kalau Rp 20.000, ya apa-apa kalau segitu, yang bener saja."

Kendati demikian dia menegaskan bahwa pemerintah bersama Bank Indonesia akan berusaha menjaga agar pelemahan Rupiah jangan terlalu jauh.

"Kita akan usahakan pelemahannya jangan terlalu jauh. Dan kebijakan-kebijakan yang kita ambil termasuk dengan BI dan OJK tidak akan membiarkan pelemahan itu terlalu jauh," dia menandaskan.

Pelemahan Rupiah Saat Ini Tak Separah 1998

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan dalam beberapa bulan terakhir. Jumat kemarin, pelemahan rupiah sempat menyentuh angka 14.500 per dolar AS. Kondisi ini dipandang masih lebih baik dibanding 1998.

Pakar manajemen perubahan Rhenald Kasali mengatakan, rupiah memang mengalami pelemahan dari Oktober 2014 sampai Juni 2018 sebesar 18 persen. Pelemahan rupiah  dari 12.200 per dolar AS menjadi 14.400 per dolar AS.

Menurut Rhenald, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini jauh lebih baik dibanding pada 1997 dan 1998. Saat itu rupiah tertekan 600 persen, dari Rp 2.500 per dolar AS menjadi 16.800‎ per dolar AS. Dengan begitu, pelemahan rupiah terhadap dolar AS jauh lebih besar.

‎"Tapi situasi sekarang berbeda dengan situasi 1998. Saat itu lebih besar, pada 1998 itu dari 2.500 per dolar AS ke 16.800 per dolar AS, naiknya 600 persen, kalau sekarang baru 18 persen," tutur dia di Rumah Perubahan, Bekasi, Sabtu (21/7/2018).

Di era 1998, dengan nilai tukar 2.500 per dolar AS, upah buruh Rp ‎172 ribu per bulan. Usai rupiah melemah menjadi 16.800 per dolar AS, gaji buruh hanya naik Rp 192.

Kondisi ini membuat daya beli turun. Jika dibandingkan dengan pelemahan rupiah saat itu, upah buruh justru mengalami penurunan.

Sedangkan saat ini, lanjut Rhenald, rupiah melemah 18 persen, upah buruh sudah naik dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 3,65 juta. Artinya ada kenaikan 49 persen sejak 2014.‎ Dengan begitu upah buruh masih mengalami kenaikan meski rupiah tertekan.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini terlihat besar, karena angkanya besar dalam belasan ribu rupiah. Kondisi pelemahan mata uang lokal terhadap dolar AS tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain.

"Ini kelihatannya kenaikan besar karena angkanya besar dan semua bangsa mengalami. Dalam situasi ini ada the looser, ada the winer," tandasnya. (**H)


Sumber: Liputan6.com





Berita Terkait

Tulis Komentar