Tak Ada Makan Siang yang Gratis bagi Prabowo

  • Jumat, 13 Juli 2018 - 05:12:02 WIB | Di Baca : 1238 Kali

SeRiau - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli menilai posisi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto “tersandera” dengan PKS, PAN, dan Demokrat dalam Pilpres 2019. Sebab, ketiga partai tersebut bersikeras dengan menyodorkan kadernya untuk menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2019.

"Susah juga (Prabowo Subianto), makanya saya bilang 20 persen threshold dihilangkan, supaya enggak pragmatis, supaya mereka ada kandidat dan tidak hitung-hitungan politik lagi. Kalau itu (pembentukan koalisi) pasti hitung-hitungan lah, kan kalian tahu dalam politik itu enggak ada makan siang yang gratis," ujar Lili saat ditemui di Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018).

Diketahui PKS mengusulkan sembilan cawapres pendamping Prabowo Subianto, yakni Gubernur Jawa Barat dari PKS Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS Anis Matta, dan Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Kemudian, Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al Jufrie, mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua DPP PKS Al Muzammil Yusuf, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

Sementara, PAN memasangkan Prabowo Subianto dengan Ketua Umumnya Zulkifli Hasan sebagai cawapres.

Partai Demokrat menawarkan Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY sebagai calon wakil presiden.

Lili menuturkan, pembentukan koalisi partai politik berdasarkan pertimbangan kepentingan pragmatis semata. Menurut Lili, munculnya politik pragmatis salah satunya disebabkan dengan aturan ambang batas pencalonan (presidential treshold) Presiden dan wakil presiden.

Aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential treshold) tertera di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal tersebut, mengatur parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.

“Syarat 20 persen itu dihapus, supaya seluruh parpol bisa bebas dari politik pragmatis dan mudah mencalonkan kadernya,” ujar dia.

Di sisi lain, tutur Lili, hal yang sama juga terjadi di kubu koalisi petahana Joko Widodo. Menurut dia, koalisi di kubu Jokowi juga mengedepankan pragmatisme untuk memperoleh keuntungan.

“Di kalangan koalisi pak Jokowi kan juga pragmatis, siapa mendapat apa, kan udah tahu itu," tutur Romli. (**H)


Sumber: KOMPAS.com





Berita Terkait

Tulis Komentar