Pro-Kontra Duet Jokowi-Prabowo

  • Selasa, 24 April 2018 - 22:08:04 WIB | Di Baca : 1253 Kali

SeRiau - Presiden Joko Widodo membuka peluang menggandeng Ketum Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2019. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra. Seperti apa?

Pernyataan Jokowi soal kemungkinan menggaet Prabowo sebagai cawapres disampaikan dalam wawancara Mata Najwa, yang akan tayang pada Rabu (25/4/2018) besok di Trans7. Pembawa acara, Najwa Shihab, bertanya soal kemungkinan Jokowi menggandeng Prabowo.

"Dalam rangka kebaikan negara ke depan, kenapa tidak (gandeng Prabowo). Kalau saya membuka semua opsi yang ada," kata Jokowi menjawab pertanyaan Najwa.

Pernyataan Jokowi ini menimbulkan sejumlah reaksi. Ketua DPR yang juga politikus Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet), tampaknya setuju dengan wacana duet Jokowi-Prabowo.

"Kalau Pak JK nggak bisa, yang paling ideal untuk meminimalkan perpecahan bangsa, tidak ada lagi isu-isu SARA dan isu yang berkembang akhir-akhir ini, itu adalah menggandeng Pak Prabowo," tutur Bamsoet.

Sementara itu, Gerindra menolak wacana Jokowi berduet dengan sang ketum. Sebab, Gerindra sudah memberi mandat kepada Prabowo untuk menjadi capres.

"Ya (menolak), karena amanah rakornas gitu, amanah rakornas minta Pak Prabowo sebagai capres, bukan cawapres," tegas Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad.

Sementara itu, kolega satu partai Dasco, Ferry Juliantono, menilai Jokowi tengah mumet (pusing) dengan membuka peluang mengajak duet Prabowo. Waketum Gerindra itu pun menuding Jokowi mumet memikirkan elektabilitasnya yang turun.

"Jokowi dan Istana lagi mumet. Jokowi panik dan belakangan sering mengirim utusan dalam rangka penjajakan kemungkinan koalisi, termasuk menjajaki kemungkinan Pak Prabowo berpasangan. Sudah tidak ada yang mau lagi dengan orang yang elektabilitasnya hancur. Apalagi kalau soal ekonomi ini makin krisis, jangan-jangan belum tentu bisa bertahan sampai 2019," beber Ferry.

Tak terima Jokowi dibilang mumet, NasDem lalu balik menyerang Gerindra. Sebagai partai pendukung Jokowi, NasDem menilai pernyataan Ferry sebagai bentuk imajinasi saja.

"Itu khayalan Gerindra aja, karena sudah panik, lalu mulai membangun imajinasi-imajinasi yang jauh dari realitas politik. Ya itu khayalannya Ferry (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, red), khayalannya siapa tuh kader Gerindra, Fadli (Fadli Zon, red), ini khayalan-khayalan aja," ujar Sekjen NasDem Johnny G Plate.

Johnny balik menuding Gerindra yang tengah panik karena elektabilitas capresnya terus menurun dan koalisinya rapuh. Bagi Johnny, serangan-serangan Gerindra bertujuan membolak-balikkan logika masyarakat.

"Di sebelah (Gerindra) itu rapuh. Kalau ngambil PAN, PKS bisa jadi faktor krusial yang memperlemah. Kalau ngambil PKS, PAN jadi faktor krusial. Justru yang genting dan rawan dan rapuh itu ada di poros sebelah. Jadi karena rapuh gayanya dengan membolak-balik logika publik. Itu kerjanya Ferry aja," tuturnya. 

PDIP juga tak tinggal diam. Partai pengusung utama Jokowi itu membalas serangan Gerindra. Basis data yang disampaikan Gerindra, disebut Sekretaris Badan Pelatihan dan Pendidikan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari, tidak jelas dan mengarah pada delusi.

"Jokowi, lho, semua minta digandeng dia itu ketum-ketum, (sedangkan) yang minta digandeng Pak Prabowo kan nggak ada," kata Eva.

Di sisi lain, ada juga partai pendukung Jokowi yang setuju dengan wacana duet Jokowi-Prabowo. PPP membuka peluang menerima duet tersebut.

"PPP terbuka untuk menerima opsi paslon pilpres antara Pak Jokowi sebagai capres dan Prabowo sebagai cawapres," ungkap Sekjen PPP Arsul Sani. (**H)


Sumber: detikNews





Berita Terkait

Tulis Komentar