Undang-Undang melarang Jokowi borong dukungan partai di Pilpres 2019

  • Selasa, 06 Maret 2018 - 11:42:12 WIB | Di Baca : 5500 Kali

SeRiau - Partai oposisi, Gerindra dan PKS mengaku ditawari untuk bergabung ke dalam pemerintah. Kedua partai yang sejak kalah Pilpres 2014 ini konsisten di luar pemerintah, diajak utusan Istana untuk mendukung Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019.

Muncul wacana Jokowi jadi capres tunggal melawan kotak kosong tahun depan. Bukan tidak mungkin, jika Gerindra, PKS ditambah PAN yang sejak awal ingin membangun koalisi malah merapat ke incumbent.

Direktur Eksekutif Pemilu untuk demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni merasa yakin betul, wacana jadikan Jokowi capres tunggal tidak akan terjadi. Dia memprediksi, minimal ada dua pasang calon yang akan bertarung di Pilpres tahun depan.

"Saya kira tidak akan terjadi calon tunggal di Pilpres 2019. Desain pemilu serentak akan mendorong parpol yang bisa mengusung calon akan mengajukan calon di pilres mendatang," kata Titi saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (5/3).

Dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tengan Pemilu memang mengatur aturan main tentang calon tunggal. Capres dan cawapres bisa melawan kotak kosong dan dinyatakan menang jika memperoleh 50 persen plus satu suara dengan sebaran minimal di 18 provinsi.

Tapi persoalannya, UU Pemilu tidak mengatur bilama capres dan cawapres tunggal gagal mendapatkan suara 50 persen plus satu. Aturan main itu masih digodok oleh KPU yang akan diterbitkan dalam bentuk PKPU nantinya.

"Sangat anomali kalau Pilpres sampai calon tunggal. Secara gamblang menunjukkan kegagalan kaderisasi dan rekrutmen politik oleh parpol. Meski calon tunggal dimungkinkan dan konstitusional, tetap saja dalam konteks praktik berdemokrasi mestinya ia dihindari dan tidak terjadi," jelas Titi lagi.

Titi menjelaskan lagi, di satu sisi UU Pemilu melarang capres dan cawapres memborong semua partai politik untuk maju. Termasuk jika parpol yang bisa mencalonkan tapi tak memajukan capres cawapres, maka akan kena sanksi, tidak boleh ikut pemilu tahun berikutnya.

Hal itu tertuang dalam pasal 229 aya (2) huruf a dan b. Isinya, KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: a. pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau b. pendaftaran I (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu Lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.

"Selain Pasal 235 yang memberi sanksi bagi parpol atau gabungan parpol yang mampu mengusung calon tapi malah tidak mengusung calon," kata Titi.

Melalui aturan itu, Titi merasa yakin, Jokowi sebagai incumbent tidak akan memborong seluruh partai politik untuk mendukungnya di Pilpres 2019. Terlebih, koalisi Gerindra dan PKS saja sudah bisa melewati ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi di DPR RI.

Titi juga melihat, calon tunggal di Pilpres akan menimbulkan dampak besar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Salah satunya, rakyat akan semakin skeptis terhadap partai politik dan pemilu nantinya.

"Calon tunggal akan melawan kolom/kotak kosong dalam surat suara. Bisa saja akan ada gerakan yang solid dari masyarakat untuk melawan calon tunggal akibat ketidakpuasan pada perilaku parpol. Dan bisa juga berdampak pada skeptisme dan apatisme pemilih," tutup Titi.

Diberitakan sebelumnya, Partai Gerindra mencium siasat untuk melenggangkan kekuasan Presiden Joko Widodo tanpa pertarungan dalam Pilpres 2019. Partai oposisi, disebut tengah dirayu oleh utusan Istana untuk bersama-sama mendukung Jokowi di pemilu tahun depan.

Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon yang melihat gelagat itu. Menurut dia, ada utusan Istana yang datang untuk merayu sang ketum, Prabowo Subianto untuk mau menjadi cawapres Jokowi. Dengan demikian, tak ada lagi calon terkuat untuk melawan Jokowi.

Hasil mayoritas lembaga survei menyebutkan, Jokowi masih capres tertinggi tingkat elektabilitasnya. Sementara di posisi kedua, ada nama Prabowo Subianto. Selain dua nama itu, persentase kesukaan sebagai capres hanya 1 persen saja.

"Ya adalah utusan-utusan yang datang menawarkan termasuk bergabung, Pak Prabowo masuk sebagai cawapres. Namanya dalam politik ini sah-sah saja," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan,Jakarta Pusat, Jumat (2/3).

Namun tawaran itu ditolak, karena Gerindra, kata Fadli, tetap pendirian awal untuk mengusung Prabowo sebagai Calon Presiden 2019. Sekarang pun Gerindra tengah terus membicarakan soal koalisi untuk paket Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019.

Sumber merdeka.com bercerita, hubungan Jokowi dan Prabowo memang makin akrab akhir-akhir ini. Bahkan, internal Istana mengatakan, kedua tokoh politik nasional ini kerap bertemu untuk sekadar makan bersama di Istana Bogor. Tak seperti yang telihat di permukaan, bagaimana politisi Gerindra kerap mengkritik kebijakan Jokowi. Mobil Prabowo malah kerap tampak parkir di halaman Istana Bogor.

Tapi wacana duet Jokowi-Prabowo ini tegas ditolak mentah-mentah oleh Fadli Zon. Menurut Fadli, ada upaya untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi dengan cara-cara merangkul semua pihak untuk menyambut Pilpres 2019.

"Saya kira ada upaya calon tunggal itu untuk melindungi menciptakan suatu oligarki ya," kata kata Fadli.

Menurut Gerindra, upaya itu juga terlihat dari bagaimana partai pendukung Jokowi ingin presidential threshold 20 persen suara DPR RI atau 25 persen suara nasional. Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS menolak aturan main dalam UU Pemilu. Sebab, dinilai membatasi pencalonan presiden, terlebih Pilpres 2019 digelar serentak dengan Pemilu legislatif.

Partai oposisi PKS juga mengaku ditawari untuk bergabung mendukung Jokowi. Presiden PKS Muhammad Sohibul Iman menyebut, pihak istana yang mengajak mendukung Jokowi. Sayang dia tak membeberkan siapa orang itu.

"Saya tegaskan di sini bahwa PKS diajak bergabung dengan Istana ada. Dan itu bukan sebuah kejahatan dalam politik. Itu biasa-biasa saja, istana ingin mengajak kita," kata Sohibul di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (1/3) lalu.

Dia khawatir, jika pihaknya bergabung maka Jokowi akan melawan kotak kosong di Pilpres 2019. Hal itu tidak baik bagi perkembangan demokrasi. Dia optimis, akan membentuk koalisi dengan Gerindra dan PAN melawan incumbent nantinya.

PKS menolak mengungkap nama orang yang mengajaknya bergabung. Ketua DPP PKS, Ledia Hanifa meminta hal itu ditanyakan langsung kepada orang yang mengajak. Dia menolak membocorkan hal tersebut.

Tapi yang pasti, Ledia menegaskan, PKS belum memutuskan untuk berkoalisi dengan siapa pada Pilpres 2019 mendatang.

"Hehehe. Nanya sama yang ngajak dong," kata Ledia enggan membeberkan lebih dalam.

 

(sumber Merdeka.com)

 





Berita Terkait

Tulis Komentar