Buku Buya Syafii Maarif Dibedah Lima Pakar di Universitas Negri Padang

  • Sabtu, 03 Maret 2018 - 02:57:51 WIB | Di Baca : 1710 Kali

Padang, SeRiau - Buku karya Prof. Ahmad Syafii Maarif, MA.,Ph.D., yang berjudul "Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan" baru saja dibedah oleh lima pakar di Auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), Kamis (1/3) sore.

Lima orang pembedah buku itu memberikan analisa cerminan Syafii Maarif yang terkandung dalam buku peraih IBF Award Kategori Buku Islam Terbaik tersebut. Diantaranya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen. Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H. sebagai pembicara pertama.

Kemudian empat lainnya yakni Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Dr. Yudi Latif, Guru Besar Prof. Syofiarma Marsidin, dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSB), Dr. Moh. Maakarim, dan Dr Siti Fatimah selaku Sejarawan UNP.

"Buku ini ialah pemikiran Buya Syafii Maarif yang ditelaah secara akademis oleh pakar dari berbagai bidang," kata Rektor UNP, Prof.Ganefri,Ph.D, saat sebelum membuka acara bedah buku tersebut dihadapan ribuan mahasiswa.

Menurut Ganefri, buku ini cukup fenomenal dan menjadi perbincangan publik karena mengangkat Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Ditambah lagi sosok Buya Syafii Maarif seorang guru bangsa yang memiliki kehidupan yang cukup sederhana.

“Buya Syafii ini merupakan tokoh nasional sekaligus guru bangsa yang memiliki ide serta pemikiran yang cemerlang agar Islam diterima diseluruh lapisan masyarakat,” tuturnya.

Sementara Buya Ahmad Syafii Maarif menegaskan, bahwa buku ini lahir untuk menyelasikan ketimpangan sosial, terutama maraknya isu-isu ideologi yang sangat bertentangan dengan Pancasila. Ia tegaskan, Islam harus mampu merangkul semua golongan sebagai wujud Islam rahmatan lil alamin.

Ia katakan, siapa pun penyebar hoaks, terutama The Family Muslim Cyber Army (MCA), atau kelompok yang menyebarkan ujaran kebencian berkonten SARA dan berita bohong di media sosial, tidak seharusnya membawa atau memakai nama Islam.

Menurut pendiri Maarif Institute dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, dalam kondisi saat ini, Islam bisa saja disalahgunakan oleh orang yang tidak jujur. Dengan demikian, ia berpendapat lebih baik tidak mengaku Islam, karena beragama itu jujur, dan kalau tidak jujur Tuhan tidak meridhoi.

"Lebih baik tidak mengaku Islam, jangan pakai Islam, pakai setan saja," ujar Buya Syafii Maarif pada saat itu.

Saat itu Ahmad Syafii Maarif juga mengatakan kemerdekaan yang dinikmati saat ini ialah anugerah, hanya saja hingga saat ini kemerdekaan belum dinikmati secara merata. Terutama amanat yang tertuang dalam sila kelima "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia" yang masih terbengkalai sejak kemerdekaan.

"Terjadi ketimpangan sosial terjadi dimana-mana, ini yang harus menjadi perhatian bersama, sebab merupakan persoalan yang serius," tegasnya.

Ia menambahkan, Pancasila sebagai dasar negara telah diterima oleh seluruh rakyat Indonesia menjadi sebuah ideologi bangsa dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya yang harus diamalkan. Ia tegaskan, jangan sampai ada pihak-pihak yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain.

“Islam itu universal, jadi jangan ada yang mengawang. Islam Keindonesiaan dalam satu kebhinekaan dan satu tarikan nafas,” ujarnya.

Sementara Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius mengakui banyak belajar dari pemikiran Syafii Maarif terutama setelah menjabat sebagai kepala BNPT. Ia katakan dalam memperlakukan korban dan mantan pelaku teroris harus menggunakan hati sebagai seorang manusia.

"Mereka itu tidak boleh dimarjinalkan akan tetapi mereka juga berhak hidup layaknya warga biasa lainnya," kata dia.

Kemudian, Kepala UKP-PIP, Yudi Latief menilai buku yang ditulis oleh Syafii Maarif merupakan cerminan dirinya yang memiliki prinsip yang teguh, berkarakter,  berilmu, sekaligus  mengakui keberagaman dan toleransi antar umat beragama.

"Buya Syafii belajar prinsip hidup dari tokoh Minang lainnya, yakni salah satunya Mohammad Hatta, meskipun mencicipi ilmu ke Amerika dirinya tetap bersahaja dan memegang kuat nilai-nilai luhur adat dan islamnya," ujar Yudi.

Di sisi lain, menurut dosen UMSU Medan, Moh. Maakarim mengatakan buku karya Syafii Maarif ini berisikan pemikiran, bahwa Buya Syafii Maarif menginginkan Islam yang maju, tanpa menghilangkan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.

“Buya Syafii Maarif merupakan profesor yang rendah hati, lembut, dan sederhana,” akunya.

Selanjutnya, bagi sejarawan UNP Siti Fatimah, menuturkan bahwa dalam menelaah buku Syafii Maarif dirinya menggunakan tiga dimensi, yaitu terhadap orangnya, kulturnya, dan karya itu sendiri. Ia menilai Syafii Maarif merupakan seorang tokoh nasional dari Minang yang memiliki keunikan tersendiri.

"Hanya ada beberapa orang yang seperti Buya ini, selain nasionalis, islami, juga menjunjung tinggi keberagaman," sebutnya.

Fatimah menilai, karya ini lahir pada tahun 2008 disaat Indonesia menikmati era kebebasan setelah terkungkung puluhan tahun. Hanya saja menurutnya dalam kebebasan itu ia menilai kebebasan justru menjadi sebuah kebablasan.

"Segala kerisauan bangsa kita dituangkan Buya Syafii Maarif dalam sebuah buku ini. Jika ingin tahu seperti apa Islam itu maka bacalah buku ini," katanya. (*JJ)



Sumber: metrans





Berita Terkait

Tulis Komentar