Petang Megang dan Pengaruhnya Dalam Perubahan Sungai Siak di Pekanbaru


 

Seriau,- Sungai Siak terletak di Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Sangat vital bagi perkembangan transportasi, ekonomi, bahkan budaya kota Pekanbaru. Sebagai sungai terdalam di Indonesia, masyarakat Pekanbaru memanfaatkan sungai untuk menghubungkan kota dan wilayah. 

Sungai ini membentang dari Barat ke Timur, menghubungkan Kota Bukittinggi di Sumatera Barat dengan Selat Malaka. Ada banyak pemukiman, pusat pemerintahan, situs sejarah, pasar, dan pusat perdagangan di sepanjang sungai ini. Masyarakat di Pekanbaru juga erat kaitannya dengan Sungai Siak dalam kehidupan sehari-hari.

Dari kondisi geografisnya, Sungai Siak juga membelah Kota Pekanbaru menjadi dua bagian, bagian utara sungai- basecamp Perusahaan Minyak Caltex dan bagian selatan sungai- sebagai kota tua. Tepi sungai dikenal sebagai situs bersejarah sekaligus pusat perdagangan. Pekanbaru terletak di tengah Pulau Sumatera dengan Sungai Siak sebagai jalur transportasi utama. Hal ini membuat Pekanbaru dikenal sebagai kota transit dan pelabuhan perdagangan di Sumatera.

Dari gambar menunjukkan letak Sungai Siak yang strategis dan posisi dua jembatan penting yang menghubungkan Pekanbaru bagian utara dan selatan. Penambahan infrastruktur memperkuat makna Pekanbaru sebagai kota transit bagi banyak wilayah Sumatera, termasuk Malaysia dan Singapura. Sebagai kota transit untuk perdagangan lokal dan regional, pemerintah menyediakan beberapa infrastruktur untuk membantu para pedagang melakukan bisnis mereka. Beberapa infrastruktur tersebut adalah pelabuhan baru, jalan, dan bangunan komersial seperti pasar sentral di daerah tepi sungai untuk menampung aktivitas yang berkembang di dekat Sungai Siak. 

Masyarakat yang tinggal di sekitar sungai juga melakukan beberapa kegiatan seperti mandi, mencuci, memancing, bahkan upacara adat yang menghubungkan masyarakat dengan Sungai Siak. Ada juga beberapa jembatan yang terletak di atas Sungai Siak dan jalan tol baru, Jalan Tol Trans-Sumatera, yang menghubungkan Provinsi Aceh di Utara hingga Provinsi Lampung di Sumatera Selatan. Singkatnya, Sungai Siak sangat penting bagi kota, dan daerah tepi sungai menjadi infrastruktur penting bagi masyarakat di Pekanbaru.

Ada beberapa penjelasan mengenai nama Sungai Siak. Nama Siak berasal dari tanaman lokal atau semak yang tumbuh di dekat sungai di lokasi bekas kerajaan Siak. Itulah arti kata "siak-siak", yang diambil dari nama kerajaan. Masyarakat di Riau biasanya menggunakan jenis tanaman ini sebagai bahan obat dan pewangi.

Sungai Siak memiliki panjang 370 km dan menghubungkan beberapa kabupaten. Sungai Siak melintasi Pekanbaru, dan kota ini menjadi pelabuhan transit yang terkenal bagi para pedagang dari Sumatera Barat dan Malaka. Sungai Siak merupakan salah satu dari empat sungai utama di Provinsi Riau dan merupakan sungai terdalam di Indonesia, dengan kedalaman rata-rata 20-30 m (Yuliati et al., 2017). Sungai Siak memiliki sejarah panjang sebagai jantung pemukiman manusia di Sumatera, bahkan sebelum era kolonial dan eksplorasi pertambangan (Onrizal & Mansor, 2020). 

Namun saat ini kedalaman Sungai Siak hanya berkisar antara 8-12 meter (Sumiarsih, 2017). Munculnya pabrik dan industri serta aktivitas domestik di sekitar Sungai Siak menyebabkan sungai kehilangan kualitas alamnya (Onrizal & Mansor, 2020). Sungai Siak berperan besar dalam perkembangan kota Pekanbaru. Secara historis, Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota yang muncul dari sungai. Kawasan tersebut merupakan kawasan inti Kota Pekanbaru yang dahulu dikenal dengan kawasan Senapelan (Depdikbud, 1977).

Pada abad ke-18, wilayah Senapelan terletak di tepi Sungai Siak dan menjadi pasar bagi para pedagang Sumatera Barat. Seiring berjalannya waktu, kawasan tersebut berkembang menjadi kawasan pemukiman padat dan transit pelayaran. Perkembangan Senapelan juga sangat erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada tahun 1762, Pekanbaru didirikan sebagai Kawasan antara Jembatan Siak 1 dan Jembatan Siak 3 merupakan kawasan padat penduduk yang beraktivitas sehari-hari. Kota tua terletak di kawasan ini, termasuk kehidupan Sultan Siak dan bangunan komersial tertua. Beberapa bangunan tua yang berada di kawasan tersebut merupakan bagian dari warisan arsitektur Melayu, dan memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Selain itu, ada beberapa pusat perdagangan dan pemukiman di daerah tersebut.

Studi tentang tempat-tempat perkotaan telah berkembang dari memahami hubungan antara bentuk-bentuk perkotaan, kegiatan, dan citra (Montgomery, 1998) untuk memasukkan perilaku manusia dan konstruksi sosial (Morgan, 2010). Sejarawan arsitektur Spiro Kostof menggunakan istilah "proses kota" untuk mengingatkan para perencana dan perancang kota tentang proses tanpa akhir untuk menjadi kota yang ideal (Kostof & Castillo, 1999). Ia menegaskan bahwa pola dan elemen kota dibentuk oleh kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dibangun melalui proses sejarah. Di sini, bentuk fisik kota tidak pernah lepas dari konteks sosial, sebagai matriks yang tertata dalam kehidupan sehari-hari.

Perpaduan antara bentuk perkotaan, aktivitas pengguna, dan makna yang diberikan orang pada tempat tersebut menciptakan suatu tempat yang bermakna dalam ruang kota (A. S. Ekomadyo et al., 2018). Faktor manusia seperti kepercayaan sosial dan budaya, tradisi, dan praktik keagamaan dapat berkontribusi pada bentuk spasial lingkungan binaan (Al Husban et al., 2021). Petang Megang adalah salah satu tradisi asli Provinsi Riau, yang melambangkan hubungan antara manusia dan sungai. Tradisi ini meliputi prosesi pembersihan dan mandi atau disebut mandi balimau, yang dilakukan sebelum bulan suci Ramadhan (Moekahar, 2018). 

Upacara ini menarik orang-orang yang tinggal di Pekanbaru dan sekitarnya untuk dating  dan bergabung dengan tradisi. Pada awalnya, tradisi ini memiliki fokus pada kegiatan pembersihan dan mandi. Kemudian, masyarakat Pekanbaru merayakan Petang Megang sebagai festival besar dan menambahkan beberapa kegiatan baru seperti Festival Perahu, kompetisi tradisional, dan mengunjungi situs sejarah dan makam tua di dekat Sungai Siak. Seperti kebanyakan tradisi, Petang Megang juga mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Ada beberapa perubahan dalam cara orang menggunakan tepi sungai dan bagaimana orang terhubung dan menghargai sungai, terlihat melalui Petang Megang. 

Sebelumnya, masyarakat di Pekanbaru lebih fokus pada tradisi mandi balimau dan arisan untuk menjaga silaturahmi antar anggota masyarakat. Selama upacara Petang Megang, kegiatan pembersihan dan pengumpulan berlangsung di tepi sungai. Saat mandi balimau, beberapa orang mandi di sungai. Kini, tradisi Petang Megang lebih mirip festival besar. Meski sebagian masyarakat masih mandi di sungai, sebagian besar warga berkumpul di tepi sungai untuk melihat Festival Perahu dan kegiatan lain yang didukung pemerintah. 

Pemerintah setempat mengembangkan tepi sungai untuk menampung Petang Megang dengan membangun infrastruktur tambahan di dekat sungai, membuat taman baru di bawah Jembatan Siak  Di bantaran sungai Siak menyarankan bahwa pengembangan kawasan harus dikaitkan dengan karakteristik fisik kawasan, seperti aspek estetika dan kesehatan (Suryadi et al., 2016).  pengembangan tepi sungai dengan konteks sosial dan budaya (Cheris & Repi, 2017), tetapi penting untuk lebih mengaitkannya dengan konteks lokal seperti festival tradisional. Beberapa di Sungai Siak terutama terkait dengan era kolonial Belanda dan dampak industri minyak di Pekanbaru. Mencoba mengisi kekosongan dalam tepi sungai Siak dan aktivitas budaya Petang Megang.

Tulisan ini terkait dengan Petang Megang yang diadakan di kawasan tepi sungai Siak, terutama di dekat Jembatan Siak 1 dan Jembatan Siak 3. Sebagai salah satu tempat tertua di Pekanbaru, daerah ini memiliki lebih banyak penduduk dan bangunan bersejarah dari pada daerah Pekanbaru lainnya. Tulisan ini berargumen bahwa Petang Megang mempengaruhi bentuk spasial bantaran sungai Siak. Melalui praktik Petang Megang dari waktu ke waktu, tulisan ini mencoba menganalisis bagaimana masyarakat memanfaatkan kawasan tepi sungai dan bagaimana perkembangan Petang Megang mempengaruhi kondisi tepi sungai Siak serta mengelaborasi beberapa perkembangan di kawasan tepi sungai dalam kaitannya dengan tradisi Petang Megang yang juga menarik wisatawan lokal.  

Biasanya ada hubungan antara manusia dan sungai yang harus mendukung kota dan masyarakat. Keterkaitan semacam ini dapat dilihat melalui kebiasaan, ritual budaya, dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan melakukan kebiasaan dan tradisi, orang mengubah ruang menjadi tempat yang bermakna. Dalam konteks sungai, kebiasaan dan tradisi merupakan upaya untuk menunjukkan dan melambangkan hubungan antara manusia dengan sungai. Untuk memahami keterkaitan antara manusia dengan sungai, perlu diketahui keterikatan tempat masyarakat dengan sungai. 

Konsep keterikatan pada suatu tempat (sense of place) dapat dipahami sebagai kualitas hubungan manusia dengan daerah tersebut. Sense of place juga merupakan kombinasi karakteristik yang menjadikan suatu tempat istimewa dan pengalaman unik pada lanskap, pengetahuan lokal, dan tradisi tentang situs tersebut (Aziana et al., 2016).

Setiap kota memiliki karakter dan identitas unik yang membedakannya dari kota lain (Garnham, 1985). Keunikan karakter dan identitas tersebut dapat dilihat dari letak geografis, bahasa, budaya, dan tradisi. Atribut lokal tertentu ini akan menghasilkan rasa memiliki untuk mendorong orang mempertahankan tradisi dan rasa tempat mereka dan hubungan emosional antara orang dan kehidupan mereka (Herliana et al., 2017).

Tradisi berarti suatu kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi umumnya mengacu pada beberapa akumulasi praktik atau kepercayaan masa lalu yang diteruskan oleh orang tua atau otoritas, yang dijalankan kembali atau dipikirkan kembali oleh agen melalui setidaknya tiga "generasi" berturut-turut (Jacobs, 2007). Budaya mewakili nilai dan tradisi bersama, dan makna tradisi ditentukan oleh orang-orang yang berbagi nilai tersebut. Ada kemungkinan perubahan pada   tradisi. 
Dalam kaitannya dengan festival atau pameran, proses untuk menciptakan dan menerima nilai baru tidak semata-mata dibangun oleh penguasa, melaena merupakan proses berkelanjutan yang dimodifikasi oleh pengguna dan pengunjung (Lukito, 2016).

Petang Megang merupakan salah satu tradisi asli provinsi Riau, terutama dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Pekanbaru dan sekitarnya. Tradisi ini merupakan simbolisasi dari upacara bersih atau mandi untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Kata petang berarti sore, dan megang berarti waktu antara sore dan senja. Ada perbedaan mengenai munculnya tradisi Petang Megang. Pertama, Petang Megang aslinya berasal dari daerah Pelalawan di Riau (Efni, 2017). Kedua, mandi balimau sebagai bagian dari tradisi Petang Megang diyakini berasal dari Batu Belah, Kabupaten Kampar pada tahun 1960-an, bahkan tradisi aslinya mungkin berasal dari Sumatera Barat (Pebrianto et al., 2019).

Inti dari tradisi Petang Megang ini adalah mandi balimau. Kata mandi berarti mandi atau membersihkan diri, sedangkan kata balimau berarti air kapur (Efni, 2017). Ide mandi balimau adalah untuk membersihkan tubuh manusia dan mensucikan hati untuk menyambut bulan suci Ramadhan (Moekahar, 2018). Seperti kebanyakan tradisi, ada juga beberapa perubahan di Petang Megang, seperti cara pelaksanaannya dan nilai-nilainya. Petang Megang memiliki beberapa nilai sakral dan tradisional, seperti pembersihan jiwa dan raga, yang mencerminkan pentingnya kebersihan dan kemurnian spiritual (Moekahar, 2018). Selain itu, upacara ini memiliki beberapa prosesi. Sungai Siak adalah elemen terpenting dari Pekanbaru, dan memainkan peran penting dalam sejarah dan transformasi Pekanbaru. Sungai Siak memiliki perkembangan yang pesat dan menjadikan Sungai Siak sebagai pusat Kota Pekanbaru. Digunakan sebagai daerah transportasi dan transit yang menghasilkan pembangunan dan daerah tepi sungai. 

Keterikatan masyarakat dengan sungai menunjukkan masyarakat Pekanbaru melakukan hubungan khusus antara masyarakat Pekanbaru dan Sungai Siak dengan banyak kegiatan dan tradisi. Petang Megang adalah salah satu tradisi asli dari Riau. Dalam tradisi ini diadakan tradisi penyucian di dekat sungai. Dalam praktiknya untuk menyambut bulan suci Ramadhan, ada beberapa prosesi Petang Megang yang menghubungkan masyarakat dengan sungai.

Tulisan ini telah membahas bagaimana tradisi Petang Megang mempengaruhi bentuk ruang di kawasan tepi sungai, terutama untuk mewadahi aktivitas masyarakat selama Petang Megang. Dalam perkembangannya, praktik Petang Megang telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya, tradisi ini berfokus terutama pada sungai dengan mandi balimau dan pertemuan. Saat ini, Petang Megang lebih seperti festival bagi masyarakat lokal dengan atraksi baru seperti festival sampan dan musik yang menarik wisatawan.

Cara masyarakat mengubah praktik Petang Megang juga mempengaruhi daerah tepi sungai dengan cara masyarakat membutuhkan akses dan tempat yang jelas di daerah tepi sungai. Temuan menunjukkan bahwa Petang Megang mencakup beberapa perubahan dalam prosesi dan mempengaruhi bagaimana orang memperlakukan sungai. Untuk menampung Petang Megang, pemerintah mengubah bantaran sungai Siak dan menambah infrastruktur baru seperti taman, jalan, dan pasar baru. Petang Megang menunjukkan keterikatan masyarakat yang kuat dengan sungai, dan masyarakat mempertahankan upacara tersebut sebagai bagian dari tradisi mereka. Pembangunan infrastruktur dapat mengakomodir kebutuhan ruang saat ini. Tetap saja, harus ada perencanaan yang baik untuk tepi sungai Tradisi Petang Megang dan Pengaruhnya dalam Mengubah Tepian Sungai Siak di Pekanbaru.(***)

Penuis: Ir. H.Abdul Kudus Zaini, MT,MS,Tr,IPM, Dosen Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau dan Pembina Yayasan YLPI.