Laporan Penyerobotan Lahan di Desa Gondai Harus Secara Perdata


 

SeRiau - Polemik eksekusi lahan di Desa Gondai, Kabupaten Pelalawan, masih jauh dari kata tuntas. Ada dua putusan Mahkamah Agung terkait 3.323 hektare lahan di sana, pertama soal pidana yang kemudian dieksekusi oleh kejaksaan setempat dan petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. 

Kedua adalah putusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan MA setelah putusan pidana. MA menyatakan surat perintah tugas eksekusi lahan sebagai tindak lanjut putusan pidana tidak sah atau batal. 

Surat perintah eksekusi itu diterbitkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau. Dengan dasar surat yang dinyatakan tidak sah itu, petugas DLHK dan kejaksaan setempat menumbangkan sawit milik masyarakat. 

Hingga kini sudah ada 2.000 hektare lahan dieksekusi. Eksekusi ditunda karena ada perlawanan dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari kebun sawit di sana. 

Persoalan kian panjang setelah Polda Riau turun ke desa itu. Penyidik mengusut dua koperasi , Gondai Bersatu dan Sri Gumilang Sakti, dengan dugaan penyerobotan lahan serta panen buah sawit secara ilegal. Polda Riau juga mengusut PT Peputra Supra Jaya karena menerima panen sawit masyarakat yang tergabung dalam koperasi itu. Adapun penyidikan ini berdasarkan laporan PT Nusa Wana Raya. 

Terkait hal itu Pengamat hukum dari Universitas Riau Erdiansyah SH angkat bicara soal ini. Dosen di fakultas hukum itu menyebut polemik di Desa Gondai hanya bisa diselesaikan secara perdata. 

"Karena masyarakat yang tergabung dalam koperasi mengaku punya SKGR di lahan itu, perusahaan juga," ujar Erdiansyah kepada awak media, Minggu (28/3).

Erdiansyah menyatakan, SKGR merupakan alas hak yang diakui oleh negara. Sehingga kepemilikan lahan oleh masyarakat dengan perusahaan yang juga mengaku punya alas hak harus diuji secara formil di pengadilan. 

"Di pengadilan lah majelis hakim akan memutuskan siapa yang berhak atas lahan itu. Jika keputusan keperdataan sudah berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya dilakukan eksekusi," ucapnya.

Keperdataan ini jelasnya, harus didudukkan, kalau belum duduk soal perdatanya, masyarakat masih berhak.

Sedangkab terkait penyidikan yang dilakukan Polda Riau, Erdiansyah menyebut penyidik harus membuktikan apakah betul-betul terjadi penyerobotan. Pasalnya, masyarakat di lahan tengah berpolemik itu punya SKGR. 

"Penyerobotan lahan itu dilakukan oleh orang yang tidak punya legalitas atau alas hak. Namun jika ada surat seperti SKGR, maka tidak patut disebut sebagai penyerobotan. Penyerobotan itu bertanam di lahan orang, bertanam tanpa punya alas hak, kalau ada surat berarti bukan penyerobotan," ungkap Erdiansyah.

Di sisi lain, Erdiansyah menyebut masyarakat masih punya hak atas hasil tanaman yang ditanam. Pasalnya masyarakat berkebun atas dasar SKGR sebagai alas hak. "Persoalan SKGR tidak bisa diselesaikan secara pidana. Oleh karena itu, saya sarankan pihak yang merasa dirugikan harus melakukan gugatan perdata. Kalau nanti sudah ada putusan perdata, silahkan eksekusi," tegas Erdiansyah.

Ketika di kompirmasi ke PT PSJ melalui kuasa hukumnya Wiria Nata Atmaja di dampingi Aswam dan Feri Adi Pransista dari kantor hukum Asep Ruhiat dan Partners mengatakan melihat proses hukum yang ada merasa sedih, semestinya PT NWR yang di proses secara hukum bersama DLHK karena di duga telah melakukan perbuatan melawan hukum pengrusakan dengan membabat habis sawit yang lagi produktif dan meratakannya.

"Untuk itu sekarang kami lagi menyiapkan gugatan ganti rugi mudah-mudahan tidak lama lagi keadilan bisa berpihak pada yang benar," pungkasnya. (Rls)