Pakar: Masalah Banjir Ekosistem Terganggu, Hujan Hanya Pemicu

  • by Redaksi
  • Kamis, 21 Januari 2021 - 18:51:00 WIB

SeRiau - Pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan banjir umumnya terjadi karena gangguan pada ekosistem di wilayah tersebut. Sementara hujan hanya memicu banjir setelah ekosistem terganggu.

"Banjir itu merupakan indikasi adanya sesuatu masalah di dalam ekosistem itu. Dalam hal ini, apakah ekosistem yang ada dalam kawasan hutan itu sendiri, maupun terhadap penggunaan lahannya," tuturnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Kamis (21/1).

"Sehingga adanya hujan akan men-trigger ekosistem yang terganggu tadi, sehingga timbul masalah (banjir)," tambah dia.

Ia menjelaskan deforestasi merupakan salah satu faktor yang bisa mengganggu ekosistem kawasan hutan. Ketika kawasan hutan dilepas untuk izin usaha, kata dia, seharusnya juga ada upaya pemulihan yang dilakukan pada kawasan tersebut setelah aktivitas ekstraksi dilakukan.

Ini berlaku baik untuk lahan yang dibuka untuk pertambangan maupun perkebunan. Ketika upaya restorasi tidak dilakukan, menurutnya, ekosistem di wilayah tersebut akan terganggu.

Dalam hal ini, Bambang mengakui penyebab banjir tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Tapi ia mengatakan itu tak berarti menyusutnya tutupan hutan tidak berperan dalam mendorong fenomena banjir, seperti yang diklaim pemerintah terkait banjir di Kalimantan Selatan.

"Pertanyaannya, bagaimana DAS (Daerah Aliran Sungai) berfungsi baik kalau misalnya DAS itu tidak dipulihkan sebagaimana mestinya. Nah, jadi menurut saya kita melihatnya seharusnya terintegrasi satu sama lain," ujarnya.

Infografis Banjir Kalsel dari Hulu sampai HilirInfografis banjir Kalsel dari hulu sampai hilir. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi)
Menurut dia pemerintah perlu mengambil langkah serius dalam menangani situasi banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Salah satunya dengan memastikan pembukaan lahan yang terjadi di sana legal dan bisa dipertanggungjawabkan.

Ia mengatakan pemerintah juga perlu memastikan pihak yang memiliki legalitas untuk melakukan kegiatan ekstraktif di wilayah hutan benar-benar menjalankan upaya restorasi yang diatur dalam izin.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menekankan penyebab utama banjir Kalsel adalah anomali cuaca. Ia menampik pandangan publik yang menduga penurunan luas hutan di DAS Barito yang menyebabkan bencana itu.

"Ada simpang siur informasi, terlebih banyak data tidak valid yang sengaja dikeluarkan beberapa pihak. KLHK selaku pemegang mandat walidata pemantauan sumber daya hutan, menjelaskan penyebab banjir Kalsel anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel," kata dia, Rabu (20/1).

Argumen serupa juga diungkapkan Presiden Joko Widodo ketika mengunjungi Kalsel, Senin (18/1). Ia mengatakan curah hujan ketika banjir terjadi begitu tinggi. Dia tak menyinggung perkara deforestasi dalam kunjungan itu.

Sementara KLHK dalam konferensi pers pada Selasa (19/1) mengakui ada penurunan tutupan hutan di DAS Barito Kalimantan Selatan hingga 62,8 persen selama 1990-2019.

Dari luas wilayah DAS Barito yang mencapai 1,8 juta hektare, area hutan alam hanya meliputi 15 persen dari wilayah itu dan 3,2 persen merupakan hutan tanaman.

Hutan alam di DAS Barito Kalsel pada 2019 hanya mencapai 274.277 hektare. Padahal pada 1990 luasnya tercatat hingga 737.758 hektare. (**H)


Sumber: CNN Indonesia