Kebut Proyek "Kota Spons", Dua Perusahaan China Teken Kesepakatan Jual-Beli Air Hujan

  • by Redaksi
  • Jumat, 25 Desember 2020 - 22:18:51 WIB

SeRiau - China kembali menyedot perhatian publik dunia. Kali ini negeri tirai bambu datang dengan kabar bahwa ada dua perusahaan China yang memulai perdagangan air hujan.

Kabar ini menuai perhatian tersendiri karena ini merupakan komersialisasi pertama air hujan sebagai sumber daya yang tidak konvensional.

Namun sebenarnya, perdagangan air hujan ini merupakan langkah penting yang diharapkan oleh pihak berwenang China dapat mendukung proyek ambisius pemerintah yakni menciptakan "kota spons" di negara itu.

Perdagangan air hujan pertama di dunia ini dilakukan oleh Yuchuang Environment Engineering, yakni sebuah perusahaan pengolahan air hujan di Provinsi Hunan yang menandatangani kesepakatan untuk membeli 4.000 meter kubik air yang dikumpulkan setiap tahun oleh Gaoxin Real Estate, perusahaan lain yang juga berbasis di Hunan.

Kabar ini diumumkan oleh China Water Exchange pada 16 Desember lalu dan dikabarkan ulang oleh Nikkei Asia pada Jumat (25/12). China Water Exchange sendiri merupakan sebuah platform di bawah naungan Kementerian Sumber Daya Air China yang dibentuk oleh konsorsium 12 lembaga pengelolaan air di negara itu. Platform ini bertanggung jawab atas hak air pemerintah dan penyebaran strategi pasar.

Berdasarkan kesepakatan dua perusahaan itu, selama tiga tahun, Yuchuang akan membayar 0,70 yuan per meter kubik untuk air mentah, yang kemudian akan mereka olah dan jual kembali ke perusahaan lain yakni Changsha Gaoxin Holding dengan harga 3,85 yuan per meter kubik. Harga ini 20 persen lebih murah daripada pasokan air lokal di kota Changsha.

Meski dari segi volume air yang diperdagangkan yakni hanya setara dengan 1,6 kolam renang Olimpiade dan nilai kesepakatan sebesar 15.400 yuan, tidak tergolong besar, namun kesepakatan ini menjadi semacam batu lompatan baru untuk sektor pengelolaan air hujan di China.

"Kesepakatan tersebut telah merealisasikan penggunaan sumber daya air dan perdagangan secara optimal," kata Ketua China Water Exchange Shi Yubo.

"Ini juga menyediakan jalur baru untuk operasi berkelanjutan kota spons yang disponsori negara kami," sambungnya.

China sendiri diketahui memiliki. misi ambisius untuk menciptakan "kota spons". Pada tahun 2015 lalu, Dewan Negara China yang memerintah telah mengidentifikasi setidaknya 30 kota di bawah proyek percontohan "kota spons" untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan air, termasuk kekeringan dan banjir yang disebabkan oleh hilangnya lahan basah alami akibat urbanisasi yang cepat.

Tujuan proyek ini adalah untuk menggunakan kembali setidaknya 70 persen air hujan di 80 persen wilayah perkotaan pada tahun 2030 mendatang.

Sementara itu, pihak perusahaan Yuchuang mengatakan bahwa pengelolaan air hujan yang dilakukannya akan melibatkan beberapa tahap. Pertama-tama, Air hujan dikumpulkan melalui jaringan pipa yang dipasang di atap, yang kemudian disalurkan ke tempat penyimpanan untuk diproses sebelum digunakan oleh Changsha Gaoxin untuk lansekap dan sanitasi.

Yuchuang sendiri telah mengolah 500 ribu kubik meter air hujan sejak tahun 2014, tetapi itu hanya menyumbang 2 persen dari total curah hujan di Changsha. Dengan demikian, masih banyak ruang untuk pengembangan di masa depan.

"Masuk akal secara ekonomi jika pihak yang akan membeli air akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada harga yang dibayarkan," kata peneliti senior di Institute of Water Policy di Singapura, Cecilia Tortajada.

Pasalnya, mengelola sumber daya dengan cara yang lebih ramah lingkungan adalah salah satu prioritas utama pemerintahan Presiden China Xi Jinping, yang menargetkan netralitas karbon pada tahun 2060.

Negara ini juga telah bergulat dengan banyak bencana alam selama bertahun-tahun. Salah satu bencana terburuk yang terjadi di China baru-baru ini adalah banjir terparah sejak 1960 di sepanjang Sungai Yangtze pada musim panas yang lalu.

Oleh karena itu, proyek percontohan "kota spons" terkonsentrasi di sekitar bagian hilir sungai Yangtze yang kaya curah hujan. Total luas area yang menjadi kota percontohan ini adalah sekitar 2.300 kilometer persegi.

Tortajada menilai, bagian lain China, terutama di timur laut dan barat, biasanya lebih kering. Sehingga, proyek pengelolaan air hujan semacam itu juga dapat berkontribusi untuk mengurangi kekeringan di wilayah tersebut. (**H)


Sumber: rmol.id