Diskriminasi Kelapa Sawit, Pemerintah Siap Gugat ke WTO


SeRiau - Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan berbagai langkah guna menghadapi tindakan diskriminasi Uni Eropa terhadap komoditas kelapa sawit, khususnya minyak sawit mentah ataucrude palm oil (CPO).

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, pemerintah berencana menyiapkan firma hukum untuk melawan diskriminasi kelapa sawit. Rencana gugatan juga akan disampaikan melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

”Intinya, semua harus dijalankan secara paralel termasuk menugaskan kami dari Kemendag untuk melaporkan update dari langkah-langkah yang akan kita lakukan untuk menggugat ke WTO, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta,” ujarnya di Jakarta.

Meski begitu, pemerintah masih akan tetap menunggu delegated act diterbitkan secara resmi. Saat ini pemerintah tengah melakukan kajian untuk menentukan firma hukum yang akan digandeng. Oke mengatakan sudah ada lima firma hukum, tetapi pemerintah belum memutuskan.

”Belum memilih, baru melakukan konsultasi dengan mereka. Semua firma hukum mempunyai perwakilan di Belgia,” tuturnya. Oke melanjutkan, pemerintah juga sepakat untuk membentuk tim satuan tugas (satgas) yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk melawan diskriminasi sawit Uni Eropa.

”Karena birokrat susah, jadi harus ada kepanitiaan khusus. Akan ada aturan dari Kemenko Perekonomian untuk menetapkan siapa saja,” ungkapnya. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kanya Lakshmi Sidarta mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu terlalu khawatir akan kehilangan pasar Eropa.

Pasalnya, jumlah total ekspor produk minyak sawit ke Eropa rata-rata hanya 4,5 juta ton setiap tahunnya. ”Pemerintah bisa melakukan intervensi dengan meningkatkan program biodiesel B30 atau B50 untuk alat-alat kendaraan tertentu, sehingga secara total yang hilang ke sana bisa terserap langsung di dalam negeri,” ujarnya.

”Memang ada cara lama, yaitu membuka pasar baru. Kalau mau cepat langsung, regulasinya dinaikkan,” imbuhnya. Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan mengatakan, meski pemerintah mendorong peningkatan penyerapan kelapa sawit melalui program biodiesel, ekspor sawit tetap dibutuhkan karena adanya permintaan pasar.

Paulus menuturkan, kelapa sawit tetap dibutuhkan karena harga dan produktivitasnya bersaing dibandingkan vegetable oils lainnya. ”Kita tidak mungkin menghapus perdagangan luar negeri karena sawit tetap dibutuhkan.

Namun bagaimana kita menggunakannya di dalam negeri, sehingga ekspornya tidak membanjiri mereka tetapi harga tetap terjaga,” tuturnya. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Kementerian Keuangan Dono Boestami mengatakan, kebijakan mandatori biodiesel B20 telah berhasil meningkatkan harga CPO sejak diterapkan pada September 2018.

Pihaknya optimistis target sebesar 6,2 juta kiloliter (kl) pada 2019 bisa tercapai melihat dari serapan domestik yang sudah mencapai 1,2 juta ton dalam dua bulan pertama tahun ini.

Dengan penerapan B30 pada tahun depan, penggunaan CPO akan mencapai 9 juta kl, meningkat dari tahun ini yang sebesar 6,2 juta kl. ”Kita memerlukan ini karena kalau tidak tercapai harga CPO bisa turun lagi di kisaran USD300-400 per ton,” ujarnya di sela Pembekalan Journalist Fellowship di Jakarta, Selasa (16/4). (**H)


Sumber: okezone.com