Penundaan Premium Naik dan Rusaknya Koordinasi Jokowi-Jonan

  • by Redaksi
  • Jumat, 12 Oktober 2018 - 06:56:26 WIB

 

SeRiau - Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Alam(ESDM), Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, dari Rp6.550 per liter menjadi Rp7.000 per liter, Rabu (10/10) kemarin. Harga itu rencananya berlaku mulai pukul 18.00 WIB.

Jonan menyampaikan rencana itu usai menghadiri Forum Tri Hita Karana Sustainable Development, di Hotel Sofitel Nusa Dua, Bali.

Namun, selang beberapa menit kemudian Kementerian ESDM menyatakan bahwa rencana kenaikan bahan bakar subsidi itu ditunda atas arahan Presiden Joko Widodo. Selain itu, penundaan dilakukan juga karena menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero).

Pertamina, selaku operator pun menyatakan belum tahu rencana kenaikan harga Premium, seperti yang disampaikan Jonan kemarin.

Penundaan kenaikan harga Premium itu dinilai sebagai tanda lemahnya koordinasi antara Jonan dengan Jokowi, selaku atasannya di Kabinet Kerja. Mustahil Jonan mengungkap kenaikan harga Premium sebelum disetujui Jokowi.

Selain itu, pembatalan kenaikan harga Premium kemarin juga memperlihatkan tak berjalannya komunikasi lintas kementerian atau lembaga, termasuk dengan BUMN.

"Kejadian ini membuktikan bahwa ada sinyal, ada komunikasi yang tidak jalan antara bawahan dengan atasan, antara sesama lembaga negara," kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (11/10).

Jonan mengumumkan bahwa harga Premium naik menjadi Rp7.000 per liter dari harga semula Rp6.450. Harga itu berlaku di di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali). Sementara, untuk harga jual Premium di luar Jamali naik dari Rp6.400 menjadi Rp6.900 per liter.

Secara tiba-tiba rencana kenaikan Premium itu ditunda. Penundaan diklaim menunggu kesiapan Pertamina. Bisa dikatakan keputusan menaikkan harga Premium ini belum selesai dibahas tuntas di pemerintah.

Ujang mengatakan tak seharusnya miskomunikasi di dalam pemerintahan Jokowi dipertontonkan kepada masyarakat. Ujang menduga terjadi komunikasi yang terputus sesaat sebelum Jonan mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi itu.

"Tidak mungkin kalau menurut saya Jonan berani membantah, atau mendahului apa yang diinginkan oleh presiden," ujarnya.

"Oleh karena itu, patut ditelusuri ada komunikasi yang tidak sinkron ini dari pihak mana, apakah dari pihak Istana atau Kementerian ESDM, yang dipimpin Jonan," kata Ujang melanjutkan.

Menurut Ujang, kenaikan harga BBM terutama jenis Premium merupakan isu sensitif di tengah Pilpres 2019. Saat ini proses pesta demokrasi lima tahunan itu telah masuk masa kampanye, yang dimulai September 2018 sampai 13 April 2019.

"Karena ini kan sangat sensitif, karena kenaikan yang akan diumumkan itu terjadi di tahun politik, artinya memiliki imbas dan dampak yang luas dalam konteks elektoral Pak Jokowi," tuturnya.


Kepentingan Politis Jokowi

Di sisi lain, kata Ujang penundaan kenaikan harga Premium ini sangat kental muatan politis Jokowi untuk kepentingan Pilpres 2019. Menurutnya, akan ada dampak yang besar terhadap suara Jokowi dan pasangannya Ketua MUI Ma'ruf Amin, bila harga Premium benar-benar naik.

"Jadi secara ekonomis Pertamina jangan rugi, di satu sisi secara politis ini mesti diperhitungkan kembali, karena dampaknya akan merusak elektoral seorang incumbent, yaitu Jokowi," kata Ujang.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menyatakan terlalu terlihat jelas kepentingan politik dalam penundaan kenaikan harga Premium kemarin. Bahkan menduga ada kepentingan politik berbeda antara Jonan dengan Jokowi.

Ubed menyebut penundaan kenaikan harga Premium turut mempertunjukan elite kabinet pemerintah yang memiliki kepentingan berbeda dan memanfaatkan kebijakannya demi pencitraan.

"Terlalu vulgar kepentingan politiknya. Patut diduga ada kepentingan yang berbeda tajam secara politik antara Jonan dan Jokowi," kata Ubed secara terpisah kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, kata Ubed, kenaikan harga Premium yang berubah dalam hitungan menit turut memperlihatkan lemahnya kapasitas kepemimpinan Jokowi, sebagai orang nomor satu di pemerintahan. Ubed bahkan menyamakan pemerintahan dengan pedagang kaki lima lantaran tak tegas mengambil keputusan.

"Ini mirip pedagang kaki lima yang mudah mengubah harga barang daganganya dalam hitungan menit," ujarnya. 

 

 

 

Sumber CNN Indonesia