Tolak Gabung Koalisi Keumatan, Demokrat Berpeluang Bentuk Poros Sendiri


SeRiau - Belum lama ini, wacana koalisi keumatan yang digagas oleh tiga serangkai Prabowo-Amien-Rizieq yang kemungkinan mewujud dalam parpol koalisi antara Gerindra, PAN, PKS, dan PBB belum sepenuhnya resmi dideklarasikan. 

Isu mengenai koalisi yang dibentuk di Makkah ini memang cukup menggelitik, dimana kekuatan resmi parpol yang logika politiknya dibangun berdasarkan asumsi-asumsi politik kerja sama kepartaian, justru seperti keluar dari mekanisme itu. 

Rasionalisasi politik nampaknya dilabrak, melihat adanya unsur kekuatan politik eksternal parpol yang seakan mengkooptasi gerakan politik mereka. Keberadaan Rizieq sebagai bagian dari eksternal parpol tetapi mempunyai pengaruh kuat bagi parpol koalisi, masih membuat rentan koalisi keumatan ini.

Hal ini pula yang kemudian membuat Partai Demokrat ragu untuk bergabung dalam barisan koalisi keumatan. Sebagai parpol yang rasional, Demokrat pasti menolak jika pada kenyataannya, mekanisme parpol seperti didikte "orang luar" yang tidak mewakili unsur parpol manapun. 

Apalagi Demokrat sejauh ini sudah mempopulerkan AHY agar memiliki kesempatan lebih luas untuk diterima publik sebagai calon presiden. Jikapun tidak, AHY paling tidak dilirik parpol lain dan dipinang menjadi cawapres yang diusulkan pihak koalisi. 

Posisi dilematis Demokrat memang masuk akal, jika melihat pada persentase suara kursi parlemen yang tak cukup mencalonkan capres sendiri dan tak disebut Rizieq dalam barisan koalisi keumatan. Kesempatan mengusung calon sendiri sepertinya tak mungkin, pun dilirik parpol koalisi lainnya, kecuali Demokrat dapat membentuk poros baru.

Keengganan Demokrat bergabung dengan koalisi keumatan, bukan tak memiliki peluang lain untuk membentuk poros tersendiri. Saat ini, masih ada satu parpol yang masih belum jelas ikut koalisi manapun, yaitu PKB. 

Parpol pimpinan Muhaimin Iskandar ini seringkali bermanuver nyeleneh, seperti mendeklarasikan sang ketua umumnya menjadi cawapres bagi capres Jokowi. Gagasan Demokrat membuat poros baru yang disebutnya poros kerakyatan atau koalisi nusantara, mungkin saja menarik bagi PKB, karena selain istilah "nusantara" yang lekat dengan PKB-NU, kedua parpol ini masih ambigu untuk berada di pihak mana dalam kontestasi politik nanti.

Saya agak menyangsikan bahwa koalisi keumatan akan secara formal terbentuk dengan memanfaatkan kekuatan oposisi diluar lingkaran resmi politik parlemen. Walaupun Rizieq Syihab merupakan ikon perjuangan kekuatan oposan yang tak bisa diremehkan, namun keberadaannya sebagai figur non-partai dengan memiliki kebijakan dalam menentukan arah koalisi parpol, pasti akan bermasalah. 

Parpol tentu saja diikat oleh aturan perundang-undangan yang sah, sehingga suatu koalisi parpol tak mungkin keluar dari koridor aturan tersebut. Lain halnya dengan Rizieq, bisa saja melabrak tata aturan parpol sehingga akan mengganggu mekanisme kepartaian itu sendiri.

Gerindra dan PKS sepertinya sengaja "memanfaatkan" sisi kharismatik Rizieq sebagai pemimpin umat muslim yang cukup disegani. Kedua parpol ini sedang mencari dukungan dari banyak pihak, sehingga figur seperti Rizieq memang sangat diperlukan untuk mengantisipasi kekurangan suara disaat ajang kontestasi politik berlangsung. 

Rizieq tetap masih memiliki tempat di hati masyarakat ditengah kehidupan dirinya yang kontroversial. Bahkan, bukan suatu masalah jika perintah dan larangan Rizieq sejauh ini masih didengar dan dijalankan oleh sebagian kelompok di Tanah Air. 

Ketokohan Rizieq, masih dibutuhkan oleh kekuatan parpol manapun---terutama Gerindra dan PKS---guna mengamankan kekurangan suaranya disaat kontestasi politik nanti berlangsung.  

Jika benar nanti Demokrat dan PKB bergabung dalam satu koalisi tersendiri, parpol koalisi pemerintah jelas diuntungkan, karena pada akhirnya perebutan suara hanya terjadi antara koalisi keumatan dan koalisi nusantara. 

Saya kira, di kubu koalisi pemerintah yang mendukung pencalonan Jokowi, jumlah suara pendukung mudah saja diprediksi melihat pada konteks persentase pemilih di pemilu 2014 yang lalu walaupun tak semuanya utuh sama. Ajang pilpres 2019 mendatang cukup unik, karena kental nuansa perebutan kekuasaan antarkubu yang didahului dengan pembangunan opini tanpa henti, membela, mengkritik, bahkan menjatuhkan kepercayaan masyarakat yang diarahkan pada salah satu kubu tertentu.

Namun disisi lain, jika koalisi keumatan memang benar-benar terbentuk, alangkah lebih baik jika mereka terus menjalin komunikasi dengan parpol lainnya yang belum menentukan sikap. Lebih baik merendahkan masing-masing ego politik kekuasaannya demi membangun sebuah koalisi politik yang lebih solid dan kuat. 

Menarik saya kira, jika koalisi keumatan justru tak digembosi nantinya oleh koalisi nusantara hanya karena masing-masing mengedepankan ego-sentris kekuasaannya. Bergabung dalam suatu koalisi besar---apapun namanya tak perlu "identik" dengan agama tertentu---akan lebih banyak menguntungkan secara politik. 

Mampu mempersatukan setiap kekuatan politik untuk membangun kesamaan visi-misi dalam konteks politik kebangsaan secara lebih luas, justru akan menjadi kekuatan super yang sulit tertandingi.

Saya justru membaca arah koalisi keumatan sepertinya terkesan "ekslusive", kurang mengedepankan sisi kebangsaan yang lebih luas. Garapan proyeksi politik mereka kental suasana "primordialisme", sehingga seringkali dicurigai oleh kubu politik lainnya, terlebih yang berseberangan. Semangat "primordialistik" yang diusung oleh koalisi keumatan yang konon sudah terbangun kemungkinan akan sulit "dirasionalisasikan" oleh Demokrat atau PKB. 

Tak ada yang salah dengan membangun kekuatan politik dengan nuansa keberagamaan tertentu, walaupun pada akhirnya bentuk "fanatisme politik" tampak lebih dominan daripada suasana kebangsaan.

Saya sendiri cenderung berharap, tak ada poros baru yang terwujud, jika hanya sekadar mempertontonkan kegagalan komunikasi politik. Pertarungan head to head yang hanya dua kandidat, sepertinya lebih fair dan seru, juga irit dalam hal pembiayaan politik. 

Disamping itu, peluang masing-masing kandidat untuk memenangi ajang kontestasi juga semakin besar, karena mereka hanya fokus menggarap suara rakyat tanpa dibebani komunikasi dengan parpol lainnya yang kadang njlimet oleh berbagai proses bargainingpolitik. Namun harus diakui, proses bargaining tentu saja lebih besar dan diutamakan dalam setiap proses politik, mengalahkan kepentingan lainnya yang lebih besar dalam hal membicarakan kesejahteraan rakyat. (**H)


Sumber: kompasiana.com