Bank Muamalat Rawan Kritis, Meski Cuma 'Masuk Angin'


Sumber - PT Bank Muamalat Indonesia Tbk bersikeras kondisi perusahaan baik-baik saja, meskipun rasio pembiayaan macet meningkat dan permodalannya cekak.

Direktur Utama Bank Muamalat Achmad K Permana bilang, saat ini, perusahaan berada dalam kondisi baik. Kondisi likuiditas perusahaan yang menjadi parameter utama saat ini bahkan cukup solid, tercermin dari rasio pendanaan terhadap pembiayaan (financing to deposit ratio/FDR) di kisaran 84 persen.

"Indikator keuangan kami saat ini berada di batas persyaratan OJK. Dari sisi likuiditas oke, CAR (rasio kecukupan modal) oke. NPF (rasio pembiayaan bermasalah) juga oke," ujarnya.

Padahal, menilik laporan keuangan perusahaan per September 2017, rasio pembiayaan macet perusahaan sudah berada di kisaran 4,54 persen, tumbuh dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 4,43 persen. Tak cuma itu, angka itu juga semakin mendekati batas aman yang diperkenankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni 5 persen.

Pada periode yang sama, perusahaan mencatat pembiayaan hanya sebesar Rp40,99 triliun. Tak banyak bergerak jika dibandingkan dengan pembiayaan akhir tahun 2016 yang sebesar Rp40,01 triliun. Jangan heran, laba bersih yang berhasil dikantonginya cuma Rp45 miliar.

Permana berharap, perusahaan dapat lebih ekspansif tahun ini. Dengan demikian, rasio pembiayaan macetnya bisa turun ke level 3 persen-4 persen. Sebagai upaya, perusahaan gencar menyebar jaring mencari investor baru untuk menggemukkan modal perusahaan.

Permodalan perusahaan terlihat cukup mepet. Pada kuartal ketiga lalu, rasio kecukupan modalnya berada di kisaran 11,58 persen. Pada laporan keuangan tahun 2016 lalu, Bank Muamalat memperoleh peringkat komposit tiga, sehingga wajib memenuhi rasio CAR di kisaran 10 persen-11 persen.

Peringkat komposit terbagi dalam lima tingkatan, yang mencerminkan tingkat kesehatan dan risiko sebuah bank. Peringkat satu dan dua, mencerminkan bank berada dalam kondisi baik dan mampu mengatasi pengaruh negatif kondisi perekonomian dan industri keuangan.

Peringkat tiga, bank tergolong cukup baik, tetapi terdapat beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan kesehatannya memburuk bila tak segera dilakukan tindakan korektif. Lalu, peringkat empat, bank tergolong kurang baik dan sensitif terhadap pengaruh negatif ekonomi dan peringkat lima, bank tergolong tidak baik dan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya.

Sesuai aturan, OJK hanya melakukan pengawasan normal pada bank yang masuk dalam peringkat komposit satu hingga tiga. OJK akan melakukan pengawasan intensif jika bank memperoleh peringkat komposit empat dan pengawasan khusus jika bank berada di peringkat komposit lima. Yang pasti, semakin tidak baik kondisi bank, maka kebutuhan modal bank akan semakin besar.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyebut, Bank Muamalat saat ini berada dalam kondisi yang baik. Likuiditas bank syariah tertua ini terpantau aman, kendati tengah mengalami masalah pada kualitas aset dan permodalan. OJK sudah meminta bank tersebut untuk menambah permodalan.

"Jangan khawatir, bank ini bagus, DPK (dana pihak ketiga) bagus dan murah. Ada radang-radang sedikit di NPF, tapi masih bagus," terang Wimboh, beberapa waktu lalu.

Saat ini, menurut dia, peringkat komposit Bank Muamalat pun belum banyak berubah dari hasil pengawasan sebelumnya. Namun, Wimboh enggan menjawab secara jelas tingkat kesehatan bank tersebut. Sebagai informasi, OJK rutin mengeluarkan peringkat komposit bank setiap 6 bulan sekali.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengakui, Bank Muamalat memang tengah menghadapi permasalahan pada solvabilitas atau permodalan dan pembiayaan macet. Namun, likuiditasnya masih berada dalam kondisi yang mumpuni.

"Probabilitas Bank Muamalat untuk membaik masih sangat besar. OJK saja (sebagai pengawas perbankan) optimis," ungkap dia.

Kendati demikian, Halim menilai, penyehatan sebuah bank tidak boleh ditunda. Pasalnya, kendati bank berada dalam kondisi yang cukup mumpuni saat ini, bank yang sedang ditimpa masalah kredit dan membutuhkan tambahan modal memiliki risiko lebih tinggi ketika tiba-tiba ada terpaan negatif dari kondisi ekonomi.

Halim memang optimis dan menilai Bank Muamalat tak akan berakhir gagal. Namun, ia juga menekankan, keuangan LPS yang ada saat ini masih cukup untuk menangani jika terdapat bank kecil dan menengah yang gagal. Hingga akhir tahun lalu, total aset LPS diperkirakan mencapai sekitar Rp80 triliun. 

Tak Berdampak Sistemik

Bank Muamalat boleh jadi bank tertua dan terbesar kedua di industri perbankan syariah. Namun, ukuran dan keterhubungannya dengan lembaga keuangan lain terbilang cukup minim, sehingga tak masuk dalam kelompok bank sistemik. Tak masuknya Bank Muamalat dalam kelompok bank yang penyelamatannya akan diproritaskan ini, tercermin dari laporan keuangan perseroan September 2017.

Dalam laporan keuangan tersebut, Bank Muamalat tak diminta memenuhi tambahan modal dalam bentuk capital surcharge yang sedianya wajib dipenuhi bank sistemik. 

Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia Yusuf Wibisono menilai, meskipun bukan bank sistemik, pemerintah mau tidak mau harus menyelamatkan Bank Muamalat. Penyelamatan Bank Muamalat, menurut dia, menjadi pertaruhan Presiden Joko Widodo yang kini tengah mendorong sistem keuangan syariah.

"Saat ini, Indonesia adalah salah satu pemain terbesar di ekonomi syariah, terutama sukuk dan industri halal. Ini (Bank Muamalat), jika bermasalah, berat pengaruhnya ke citra pemerintah," jelas dia.

Sementara itu, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin meminta masyarakat untuk memperkuat keberadaan Bank Muamalat. Lahirnya Bank Muamalat merupakan pengingat dimulainya sistem keuangan syariah di Indonesia.

"Bank Muamalat boleh sakit seperti bank lain, tetapi tidak boleh mati. Kita tidak boleh membiarkan Bank Muamalat mati," imbuh Ma'ruf sambil terisak di Muamalat Tower, baru-baru ini. 

 


(sumber CNN Indonesia)