Hasil Paripurna Revisi UU KPK Bisa Jadi Tidak Sah
SeRiau - Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan keputusan DPR menyetujui rencana revisi UU KPK bisa dibilang tidak sah. Hal ini terkait bukti tanda tangan rapat paripurna DPR pada Kamis (5/9).
"Saya enggak tahu sampai sekarang, di mana tanda tangannya? Bisa dilacak kembali apakah 200 sekian itu betul ada tanda tangannya. Kita bisa ramai-ramai ke sana (DPR) lihat tanda tangan kalau tidak ada, rapat paripurna tersebut tidak dinyatakan sebagai forum, hasilnya tidak sah," tutur Ray di gedung kantor Transparency International Indonesia pada Jumat (6/9).
Diketahui sejumlah 88 anggota dewan dinyatakan hadir pada rapat Paripurna yang agendanya menyetujui pembahasan revisi UU MD3 dan UU KPK.
Sebanyak 217 anggota dewan lainnya dikatakan sudah menandatangani pernyataan terkait pelaksanaan Paripurna hari itu meskipun tak datang secara fisik ke gedung DPR. Namun hingga kini belum ada bukti tanda tangan tersebut dilakukan oleh sejumlah anggota dewan tersebut ke publik.
Selain persoalan bukti tanda tangan, Ray juga menyoroti sejumlah kecacatan prosedur yang dilakukan DPR dalam memajukan rencana revisi UU KPK.
Ray menyatakan revisi UU KPK tidak ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini meskipun pernah masuk ke Prolegnas tahun 2017.
"Tahun ini ada 50-55 (rencana revisi UU) yang masuk Prolegnas dan akan dibahas sampai akhir September. Revisi UU KPK tidak termasuk di dalamnya," jelas Ray.
Kendati demikian Ray mengatakan sebenarnya rencana revisi UU dapat dilakukan tanpa harus masuk Prolegnas dalam beberapa kondisi.
Kondisi tersebut adalah putusan MK yang mengharuskan revisi UU dilakukan, serta peristiwa mendesak yang mengharuskan pembuatan maupun revisi UU terkait.
Dalam hal ini kondisi pertama bisa menjadi alasan, lantaran putusan MK pada 2017 lalu agar KPK menjadi lembaga eksekutif di bawah Presiden mengharuskan UU KPK direvisi.
Namun pemakaian kondisi pertama sebagai alasan dianggap diselewengkan oleh DPR. Hal tersebut karena pasal-pasal yang tertera dalam draf RUU KPK justru banyak memuat poin yang tak ada hubungannya dengan penggantian status KPK sebagai lembaga eksekutif.
Ray menyoroti tiga poin yang tak seharusnya dimuat dalam draf tersebut, yakni pengaturan penyadapan yang hanya bisa dilakukan atas persetujuan Dewan Pengawas, munculnya Dewan Pengawas sebagai lembaga pengawas KPK yang dipilih DPR, dan kewenangan KPK memberikan SP3 kepada tersangka korupsi.
"Kalau ada revisi strict aja pada pasal yang mengatakan bahwa KPK itu lembaga independen di bawah presiden. Ini dari mana pasal ini muncul?" ujar Ray.
Revisi UU KPK juga dinyatakan harus melibatkan KPK dalam pembahasannya, lantaran lembaga tersebut terkait dalam pelaksanaan UU itu jika nantinya lolos. DPR juga harus mendengarkan suara rakyat dalam proses menyusun legislasi.
"Produk legislasi bisa dinyatakan sah jika sudah menerima masukan dr masyarakat. Semua masyarakat punya hak mengomentari revisi UU," katanya.
Sumber CNN Indonesia