Brasil Catat Lebih dari 100 Ribu Kematian Akibat Corona

  • Ahad, 09 Agustus 2020 - 05:28:45 WIB | Di Baca : 2012 Kali

SeRiau - Brasil mencatat lebih dari 100.000 kematian akibat Covid-19, Sabtu (8/8). Angka kematian sebanyak itu terjadi lima bulan setelah kasus pertama yang dilaporkan. Negara berpenduduk 210 juta orang itu melaporkan rata-rata lebih dari 1.000 kematian setiap hari akibat pandemi sejak akhir Mei.

Pada Sabtu, tercatat 100,477 kasus kematian di Brasil dengan kasus positif mencapai 3.012.412 orang. Jumlah kematian dan infeksi Brasil nomor dua terbesar setelah Amerika Serikat.

Angka ini terpaut cukup jauh dengan Indonesia yang juga terdampak pandemi selama lima bulan. Angka kematian di RI tercatat 5.658 orang. Sementara kasus positif 123,503 orang per Sabtu (8/8).

Sebagai penghormatan kepada para korban Covid-19, LSM Rio de Paz menempatkan salib di pasir di pantai Copacabana dan melepaskan 1.000 balon merah ke langit, Sabtu (8/8).

"Sangat menyedihkan. 100.000 itu mewakili berbagai keluarga, teman, orang tua, anak-anak ", kata Marcio do Nascimento Silva, seorang sopir taksi berusia 56 tahun yang kehilangan anak-anaknya dalam pandemi dan bergabung dalam seremoni itu.

"Kami mencapai tanda itu (100.000) dan banyak orang sepertinya tidak melihatnya, baik di kalangan pemerintah maupun rakyat kami. Mereka bukan hanya jumlah tapi orang. Kematian menjadi normal," kata Silva.

Presiden Brasil Jair Bolsonaro, tetap skeptis soal dampak penyakit tersebut. Pria yang disebut ikut terinfeksi ini, tetap mendukung pencabutan pembatasan ekonomi.

Pencabutan pembatasan ekonomi ini telah dilakukan oleh gubernur negara bagian yang mencoba memerangi Covid-19.

Bolsonaro terlihat sering berbaur dengan orang banyak, terkadang tanpa mengenakan masker.

"Saya menyesali semua kematian, ini sudah mencapai angka 100.000, tapi kami akan menemukan jalan keluarnya," kata Bolsonaro lewat Facebook pada Kamis (6/8) malam.

Para ahli mengeluhkan kurangnya koordinasi penanganan Covid-19 secara nasional di bawah pimpinan Bolsonaro. Pemerintah kota dan negara bagian juga mengeluh pembukaan pembatasan yang lebih awal dari yang direkomendasikan para ahli kesehatan.

"Ketidakmampuan administratif merusak kesempatan kami untuk memberikan penanganan yang baik terhadap COVID", kata Miguel Lago, direktur eksekutif Institut Studi Kebijakan Kesehatan Brasil, yang memberi nasihat kepada pejabat kesehatan masyarakat.

Brasil menangani pandemi Covid-19 dengan menteri kesehatan sementara, Eduardo Pazuello. Ia adalah seorang jenderal militer yang berkarier di bidang logistik.

Sebab, dua menteri kesehatan sebelumnya yang seorang dokter, mengundurkan diri karena berbeda pandangan dengan Bolsonaro terkait penerapan protokol kesehatan.

Presiden juga silang pendapat dengan Menteri Kesehatan soal hydroxychloroquine, obat anti-malaria. Obat ini dipromosikan oleh presiden tetapi sebagian besar penelitian ditemukan tidak efektif melawan COVID-19, atau bahkan berbahaya.

Bolsonaro, yang menyebut COVID-19 sebagai "flu ringan", mengatakan ia sembuh dari infeksinya sendiri berkat obat itu.

Saat ini di Brasilia, ibu kota Brasil, tercatat hampir 80 persen ICU-nya terisi. Sementara, tingkat hunian ICU di Rio de Janeiro turun menjadi kurang dari 30 persen.

Di Rio, pusat perbelanjaan dan restoran telah dibuka dan orang-orang telah kembali ke pantai.

"Situasinya sangat nyaman dan kami tidak mengerti mengapa itu terjadi. Mungkin tingkat infeksi jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan pada awal pandemi dan banyak dari mereka yang berada di jalan kebal, "berspekulasi Graccho Alvim, direktur asosiasi rumah sakit di negara bagian.

Viviane Melo da Silva, 47, kehilangan ibunya, Esther Melo da Silva, di ibukota negara bagian Amazonas, Manaus pada 9 April. Ibunya melaporkan mengalami flu, dan beberapa hari kemudian mulai mengalami masalah pernapasan. Dia meninggal setelah lima hari di rumah sakit umum.

"Pemerintah mengatakan bahwa itu adalah 'flu ringan'. Mereka tidak peduli. Tidak khawatir dengan itu dan itulah yang terjadi: Orang yang tidak bersalah meninggal karena kelalaian dan kurangnya persiapan dari pemerintah, "tambahnya.

Nazare Rosa de Paula, 67, mengatakan banyak orang tetap acuh tak acuh terhadap virus meski begitu banyak kematian. (**H)


Sumber: CNN Indonesia





Berita Terkait

Tulis Komentar